Indonesia tanah air siapa
katanya tanah air beta
Indonesia sejak empat lima
janjinya rakyat sejahtera
Plesetan lagu Indonesia Pusaka karya
Ismail Marzuki itu memang pernah populer dinyanyikan para demonstran gerakan
1998. Tampaknya hingga sekarang masih relevan. Faktanya, sumber daya alam,
khususnya pertambangan 85% masih dikuasai asing. Selebihnya dijadikan bancakan
para mafia pertambangan. Maka, kesejahteraan rakyat pun terdengar seperti
janji-janji surga.
Bagaimana tidak? Lihat saja peta
Indonesia. Di mana telunjuk menuding di sana sudah ada asing. Ada Chevron,
Caltex, Petrochina, Newmont, Freeport dan masih banyak lagi. Kenyataan itu bisa
dihindari bila Pemerintah memegang erat Pasal 33 UUD 1945 dalam kebijakan
ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA), bukan bersikap patuh seperti
bupati-bupati zaman Belanda kepada tuan Kumpeni.
Parahnya lagi, sejak Soekarno
digulingkan oleh konspirasi global yang diduga kuat dimotori oleh MNC, belum
ada presiden yang berani berkata tidak atas tekanan asing. Pertimbangan tunduk
kepada pasar, sesuai teori Adam Smith mestinya ada tangan-tangan tidak terlihat
yang bekerja untuk kemakmuran rakyat. Alih-alih sejahtera, wajah kemiskinan
justru tampak nyata di Papua, Riau, Kaltim, dan wilayah-wilayah yang kaya
sumber daya alam, tidak terkecuali pertambangan.
Meskipun negara sebagai pemegang otoritas pengeloaan sumber daya alam sudah memiliki badan usaha seperti Pertamina dan PT Aneka Tambang, namun hingga saat ini peran kedua BUMN itu belum maksimal. Bahkan perannya, bila menyimak sengkarut perebutan pengelolaan Blok Cepu, Pertamina seolah dikebiri oleh Pemerintah. Tidak mengherankan, bila kita sebagai bangsa Indonesia hanya bisa gigit jari atas berpestanya Freeport di Papua, Exxon di Blok Cepu, dan lainnya, sambil berharap adanya orderan cuci piring seusainya pesta berlangsung.
Meskipun negara sebagai pemegang otoritas pengeloaan sumber daya alam sudah memiliki badan usaha seperti Pertamina dan PT Aneka Tambang, namun hingga saat ini peran kedua BUMN itu belum maksimal. Bahkan perannya, bila menyimak sengkarut perebutan pengelolaan Blok Cepu, Pertamina seolah dikebiri oleh Pemerintah. Tidak mengherankan, bila kita sebagai bangsa Indonesia hanya bisa gigit jari atas berpestanya Freeport di Papua, Exxon di Blok Cepu, dan lainnya, sambil berharap adanya orderan cuci piring seusainya pesta berlangsung.
Berbagai pihak berkeluh-kesah, di sektor
hulu Migas, Pertamina hanya mengelola sektor minyak dan gas bumi sebanyak 16%.
Upaya BUMN itu mengelola blok minyak terhambat oleh intervensi asing yang tidak
kunjung habis masa kontraknya. Karena begitu kontrak bakalan habis, sesegera
mungkin perusahaan-perusahan asing itu melobi Pemerintah untuk memperbarui
kontraknya. Dan entah ada apa udang di balik batunya, biasanya pemerintah inggih-inggih (mengiyakan) saja.
Pihak asing melakukan tindakan ini bukan tanpa payung hukum. Beberapa produk undang-undang dan peraturan di negara kita nyata-nyata lebih memihak kepada kepentingan mereka dibandingkan kepentingan nasional. Keberpihakan ini dapat kita lihat, antara lain bila mencermati pasal demi pasal, ayat demi ayat UU Migas, UU Sumber Daya Air, RUU Penanaman Modal Asing (PMA) dan berbagai peraturan di bidang PMA.
Itu bisa terjadi, karena sejak dalam pembuatan UU, pihak asing sudah bermain. Itu sah-sah saja, namanya juga usaha. Tapi yang kita sesalkan adalah para pembuat undang-undang yang terkesan manutan (mudah diatur). Itu tentu saja ada take and give-nya. Kalau benar itu yang terjadi, artinya kekuasan ini bisa menjual apa saja yang bisa dibeli dari kekuasaan.
UU yang mengatur soal royalti belum diatur, sementara niat baik untuk renegosiasi dari pemerintah diragukan karena implementasi peraturan yang lama tidak berjalan. Kalau situasinya jalan di tempat begitu, dan apalagi bila Pemerintah dan DPR-nya sebagai pembuat UU mudah dibeli, itu artinya lampu kuning bagi keselamatan bangsa ini ke depan.
Pihak asing melakukan tindakan ini bukan tanpa payung hukum. Beberapa produk undang-undang dan peraturan di negara kita nyata-nyata lebih memihak kepada kepentingan mereka dibandingkan kepentingan nasional. Keberpihakan ini dapat kita lihat, antara lain bila mencermati pasal demi pasal, ayat demi ayat UU Migas, UU Sumber Daya Air, RUU Penanaman Modal Asing (PMA) dan berbagai peraturan di bidang PMA.
Itu bisa terjadi, karena sejak dalam pembuatan UU, pihak asing sudah bermain. Itu sah-sah saja, namanya juga usaha. Tapi yang kita sesalkan adalah para pembuat undang-undang yang terkesan manutan (mudah diatur). Itu tentu saja ada take and give-nya. Kalau benar itu yang terjadi, artinya kekuasan ini bisa menjual apa saja yang bisa dibeli dari kekuasaan.
UU yang mengatur soal royalti belum diatur, sementara niat baik untuk renegosiasi dari pemerintah diragukan karena implementasi peraturan yang lama tidak berjalan. Kalau situasinya jalan di tempat begitu, dan apalagi bila Pemerintah dan DPR-nya sebagai pembuat UU mudah dibeli, itu artinya lampu kuning bagi keselamatan bangsa ini ke depan.
Tulisan: Feri Sanjaya (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar