Mestinya, seiring berakhirnya Kontrak
Kerja Sama (KKS) di Blok Mahakam di 2017 nanti, Indonesia dapat menguasai
ladang gas terbesarnya di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Namun mencermati
mentalitas pejabat-pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), harapan itu tampaknya sia-sia belaka. Bagaimana tidak, belum-belum
orang di Kementerian ESDM menilai Indonesia belum siap soal teknologi dan
sumber daya manusia (SDM).
Blok Mahakam terletak di wilayah
Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar). Luasnya mencapai 601 hektar, 213.3 hektar
masuk yuridiksi Kabupaten Kutai Kartanegara, sisanya (388 hektar) masuk dalam
yuridiksi Provinsi Kalimantan Timur. Blok di delta Sungai Mahakam itu rata-rata
memproduksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari
(MMSCFD). Dengan jumlah itu sekitar 35% kebutuhan gas dalam negeri bisa
terpenuhi. Sementara cadangan gas yang dimiliki sekitar 27 triliun cubic feet (tcf), angka yang sangat fantastis. Wajar bila
perusahaan asing ‘betah’ mengelola blok yang mestinya secara hukum sudah
kembali ke pangkuan ibu pertiwi pada 2017 nanti.
Paling tidak, sejak 1970 hingga
2010, sekitar 51,92% (13,5 tcf) cadangan gas
telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar 100 miliar dolar AS.
Sekarang tersisa 48,18 % (12,5 tcf), namun dengan catatan harga gas terus naik,
sehingga potensi pendapatan dari blok Mahakam diperkirakan masih 187 miliar
dolar AS atau setara dengan Rp 1700 triliun. Diperkirakan pula produksi gas
dari blok ini mencapai 2,6 billion cubic
feet (bcf) per tahun. Sejak 1967 hingga 2009 total produksi gas dan minyak
dari Blok Mahakam masing-masing telah mencapai 13,7 tcf dan 1.065,5 juta barel
minyak mentah.
Blok Mahakam mempunyai 7 sumur
minyak yang terletak di kawasan Tambora, Sisi, Peciko, Nubi, Bekapai, Handil,
dan Tunu, dan 2 sumur gas alam di kawasan West Stupa dan East Mandu. Ke-7 sumur
minyak itu sayangnya, kesemuanya 100% dikuasai asing, masing-masing 50% saham
dikuasai oleh Total E&P Indonesia (Perancis) dan 50% lagi dimiliki oleh
Inpex Corp. (Jepang). Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bertugas mengelola kekayaan minyak dan gas negara tidak memiliki saham 1% pun
dari Blok yang “makmur” itu.
Blok Mahakam sebagian besar
terletak di delta Sungai Mahakam, terdiri dari sejumlah pulau yang terbentuk
akibat endapan di muara Sungai Mahakam dan Selat Makassar, Kalimantan Timur.
Jika dilihat dari angkasa, kawasan delta ini menyerupai kipas raksasa. Delta
Mahakam memiliki luas sekitar 150 ribu hektar (termasuk wilayah perairan).
Namun jika dihitung luas wilayah daratannya saja, luasnya sekitar 100 ribu
hektar. Secara administratif, kawasan Delta Mahakam berada dalam wilayah
Kabupaten Kutai Kartanegara, tepatnya berada di Kecamatan Anggana, Muarajawa,
dan Sangasanga.
Kawasan Delta Mahakam merupakan
wilayah yang kaya sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam (migas).
Cadangan terbesar terdapat di lapangan Peciko dan Tunu yang kini dieksploitasi
Total E&P Indonesie, perusahaan asal Perancis.
Delta Mahakam awalnya merupakan
kawasan yang dipenuhi rawa-rawa. Namun, menjadi begitu penting secara ekonomis
sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897. Ketika itu, seorang Belanda
bernama JH. Menten memulai pengeboran percobaan di sekitar wilayah itu dengan
hasil yang luar biasa. Pada tahun 1902, Shell dengan konsesi yang diperoleh
dari JH. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari
ladang-ladang di delta Sungai Mahakam. Eksplorasi yang dilakukan Bataafsche
Petroleum Maatschapij (BPM) pada tahun 1909 juga berhasil menemukan ladang
minyak Samboja di wilayah itu.
Kawasan ini juga menjadi semakin
strategis karena posisinya yang berada dalam kawasan Selat Makassar, yang
merupakan jalur pelayaran domestik dan internasional. Delta Mahakam diapit oleh
tiga kota besar di Kalimantan Timur, yakni Samarinda (25 km ke arah barat), Balikpapan
(115 km ke arah selatan) serta Bontang (100 km ke arah utara).
Kembalikan ke Pertamina
Jatuhnya Blok Mahakam ke
perusahaan asing bermula, sejak ditandatanganinya Kontrak Kerja Sama (KKS)
untuk wilayah kerja Offshore Mahakam
Block, antara PN Perusahaan Minyak Nasional (Perminas/cikal bakal Pertamina) dan
Japan Petroleum Exploration Co.Ltd (kontraktor pertama) pada 6 Oktober 1966.
Kontrak itu berlaku efektif sejak 31 Maret 1967 untuk masa kontrak selama 30
tahun. Kontrak kemudian diamandemen
hingga dua kali antara Pertamina dan Para Kontraktor (Indonesia Petroleum
Exploration LTD dan Total Indonesie) yaitu tanggal 18 Oktober 1979 dan 14 April
1981.
Sayangnya, 11 Januari 1997, beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto
lengser, Pertamina dan para kontraktor (Total dan Inpex) menandatangani
perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang berlaku efektif sejak 31 Maret 1997
untuk masa kontrak selama 20 tahun, dengan komposisi pembiayaan (participating
interest) kegiatan eksplorasi, pengembangan, dan produksi minyak mentah dan
gas alam Wilayah Kerja Mahakam yaitu 50% (Total) dan 50% (Inpex). Dengan
demikian, kontrak Blok Mahakam akan berakhir pada 31 Maret 2017.
Total E&P Indonesie
merupakan anak perusahaan Total Group Paris, Perancis yang didirikan di Jakarta
pada 14 Agustus 1968. Awalnya, perusahaan ini melakukan eksplorasi,
pengembangan, dan produksi minyak bumi di area Bekapa dan Handil. Namun, awal
1990 kegiatan utama pertambangan beralih ke pengembangan dan produksi gas bumi
yang ditemukan di lokasi Tuwu dan Peciko. Total EP Indonesie merupakan produsen
gas bumi terbesar di Indonesia yang memberi kontibusi hampir 60% pada kilang
LNG Bontang Kaltim.
Seharusnya, BUMN, dalam hal ini
Pertamina sudah bisa menguasai Blok Mahakam pada tahun 2017. Namun, karena
besarnya cadangan yang tersisa, pihak asing tertarik kembali mengajukan
perpanjangan kontrak. Di samping permintaan dari pihak manajemen Total, tak
tanggung, lobi tingkat tinggi pun dilakukan. Perdana Menteri (PM) Perancis,
Francois Fillon telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke
Jakarta pada Juli 2011.
Setelah itu, Menteri Perdagangan
Luar Negeri Perancis Nicole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat
kunjungan Jero Wacik ke Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama juga disampaikan
oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan
Presiden SBY pada 14 September 2012. Bahkan, isu bahwa Jepang sebagai pasar
potensial gas dari Blok Mahakam enggan membeli, jika dikelola selain Total pun
sempat diembuskan beberapa tahun lalu.
Kendati PP No. 35/2004 Pasal 28
ayat 1 menyebutkan bahwa kontraktor dapat mengajukan kembali permohonan
perpanjangan kontrak untuk masa waktu 20 tahun berikutnya. Namun, UU Migas No.
22/2001 menyebutkan apabila kontrak migas berakhir pengelolaan dapat diserahkan
ke Pertamina, BUMN Migas kita. Apalagi pengelolaan tambang migas oleh Pertamina
adalah amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional.
Sebenarnya, sudah sejak 2008
Pertamina menyatakan ingin dan sanggup mengelola Blok Mahakam. Sebagai wujud
keseriusannya, sejak Februari 2012 lalu, Pertamina menempatkan orang-orangnya
untuk ikut terlibat dalam pengoperasian di blok potensial itu. Bahkan,
Pertamina siap mengucurkan dana 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun
untuk mengebor sumur baru tahun 2012.
Namun sayang, Kepala BP Migas
R.Priyono dan Wakil Menteri ESDM Prof. Rudi Rubiandini tampaknya lebih
cenderung mendukung Total sebagai operator Blok Mahakam. Bahkan Menteri ESDM
Jero Wacik sudah memberi sinyal, Blok Mahakam akan diserahkan kembali ke Total.
Apakah kebijakan itu terkait dengan kepergiannya ke Perancis pada Juli 2012
lalu? Entahlah.
Ketidaktegasan pemerintah untuk
melindungi BUMN milik Indonesia itu, menurut Direktur IRESS Marwan Batubara,
memang sudah didesain sejak pembuatan UU. Sebut saja dalam UU No 22/2001
tentang Migas, bunyi pasalnya Pertamina dapat mengajukan diri sebagai operator
di blok-blok yang sudah habis kontrak kerja samanya. Di situ menteri ESDM juga
berhak menyetujui atau menolak Pertamina. “Mestinya, pemerintah menugaskan
Pertamina meskipun Pertamina tidak mengajukan diri sebagai operator,” demikian
menurut pendapat Marwan.
Ruang abu-abu yang dimungkinkan
oleh UU itu, menurut Marwan, memberi ruang kepada berbagai pihak untuk berburu
rente di blok-blok yang sudah berakhir masa kontraknya. Sebut saja di Blok
Madura, sebelum diprotes masyarakat, Pertamina hanya kebagian saham 50% dari
blok-blok yang sudah habis masa kontraknya. Setelah diprotes ramai-ramai,
terlebih setelah ditemukan adanya perusahaan yang tidak jelas alamatnya namun
kebagian saham, komposisinya berubah 80% Pertamina dan 20% asing. Nah, yang 20%
asing itu masih ada saham untuk perusahaan yang tidak dikenal sebesar 10%.
Bukan mustahil pula, kisah
perburuan rente itu kembali berulang di Blok Mahakam. Dengan dasar itu pula,
Marwan Batubara mendesak agar Pertamina diberi peluang menjadi perusahaan besar
dengan mengelola Blok Mahakam. Kalau pun di masa lalu ada isu korupsi, itu
bukan semata-mata kesalahan Pertamina. Tapi juga kesalahan pemerintah yang membiarkan
adanya korupsi di Pertamina. “Kalau korupsi ya pecat saja pejabatnya,” imbuh
Marwan.
Berbagai cara bahkan dihembuskan
oleh BP Migas untuk meredam kesanggupan Pertamina, termasuk dihembuskannya isu
korupsi dan berita bohong tentang cadangan migas yang tidak seberapa di Blok
Mahakam. Pertanyaannya, kalau cadangan migasnya tinggal sedikit, kenapa pejabat
setingkat Perdana Menteri Perancis datang ke Indonesia khusus membicarakan
perpanjangan kontrak Total, dan kenapa pula CEO Inpex datang ke Jakarta menemui
Presiden dan Wakil Presiden untuk tujuan yang sama?
Keterlibatan Daerah
Hingga saat ini, pemerintah
belum menentukan apakah Pertamina diberi kesempatan sebagai operator paska
berakhirnya KKS. Di sisi lain, Pertamina mengaku sedang dalam proses negosiasi
dengan Total E&P Indonesie. Apa lagi, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini
menjanjikan Pertamina dan BUMD setempat bakal kebagian porsi saham 51-70%
saham. Sedangkan kontraktor sebelumnya, Total dan Inpex kebagian 30% saham.
Rudi terang-terangan berucap, perusahaan
migas asing masih dibutuhkan dalam pengelolaan Blok Mahakam, baik dari segi
dana maupun teknologinya. Tentang siapa operatornya, Rudi punya opsi, lima
tahun pertama digarap Total E&P, dan 15 tahun selebihnya dikelola
Pertamina. Namun pembicaraan itu sedang dibicarakan secara Businnes to Businnes (B to B) antara Pertamina dan Total.
Ironisnya, saat Pertamina belum
jelas benar akan menguasai blok Mahakam, ternyata di pemerintah daerah setempat
sudah terjadi polemik. Pemicunya adalah Pasal 34 PP No. 35/2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang mewajibkan kontraktor menawarkan hak
partisipasi 10% ke BUMD setelah rencana pengembangan pertama disetujui.
Masalahnya, hak partisipasi 10% itu menjadi rebutan antara Pemprov Kaltim yang
menginginkan 60% dari 10% hak partisipasi,
dan Pemkab Kutai Kartanegara menginginkan 75% karena merasa sebagian
besar eksplorasi Blok Mahakam berada di wilayahnya.
Kedua, pemerintah daerah itu
masing-masing telah membuat perusahaan daerah. Pemkab Kutai Kertanegara telah
mendirikan PT Tunggang Parangan dengan dana Rp 350 miliar. Sementara Pemprov
Kalimantan Timur mendirikan PT Migas Mandiri Pratama (MMP) yang menggandeng
perusahaan swasta nasional PT Yudhistira Bumi Energy (YBE). Konon, YBE mampu
menyiapkan dana 300-600 juta dolar AS, sesuai perkiraan investasi yang
dibutuhkan untuk ikut mengelola Blok Mahakam.
Pertamina dan Total pun belum
sepakat soal hak partisipasi 10%. Total meminta agar 10% saham itu menjadi bagian Kutai Kertanegara dan Kaltim
untuk masuk dalam saham nasional. Namun Pertamina menolak opsi itu. Pertamina
menginginkan 10% itu ditanggung bersama antara Pertamina dan Total dengan porsi
masing-masing 5%.
Nah, sama-sama belum dapat sudah
ribut duluan. Mestinya tegas saja, kembalikan pengelolaan Blok Mahakam ke pangkuan
ibu pertiwi, dalam hal ini Pertamina dan perusahaan BUMD yang mampu membiayai
sendiri kebutuhan divestasinya. Sudah itu, saham yang kita kuasai melalui BUMN
dan BUMD dikonsolidasikan untuk kepentingan nasional. Bukan BUMD tapi di
dalamnya disusupi swasta yang mendapat porsi keuntungan lebih besar dari BUMD.
Apa lagi kalau tujuannya cuma berburu rente?
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Indonesia itu kaya tetapi masih belum bisa mengelola sumberdaya yg ada
BalasHapusSaya percaya jika indonesia bisa memiliki tambang gas di sluruh indonesia juga tambang emas di papua perekonomian indonesia akan smakin naik bahkan mungkin bisa bersaing dengan negara maju