PR untuk Jokowi-JK dalam hal Tambang Negara
Indonesia adalah negara yang memiliki
potensi tambang sangat luar biasa. Namun sayang, hingga hari ini hasil tambang
yang melimpah itu belum mampu dinikmati rakyatnya sendiri. Ada yang salah?
Sudah pasti. Sebab tidak masuk logika, jika negara yang menempati peringkat
keenam dunia dalam bidang kekayaan tambang, tak pernah beranjak dari predikat
negara berkembang.
Menurut catatan Indonesian Mining Association,
Indonesia berada di peringkat ke-25 sebagai negara dengan potensi minyak
terbesar di dunia, peringkat ke-6 produsen batubara, peringkat ke-13 cadangan
gas alam terbesar, peringkat ke-7 potensi emas terbesar, peringkat ke-5
cadangan timah terbesar, peringkat ke-7 cadangan tembaga, dan peringkat ke-8
cadangan nikel.
Lantas, di mana letak masalahnya? Lihat
saja misalnya pendapatan negara dari sektor pertambangan migas di tahun 2011
yang hanya mencapai Rp 272,4 triliun. Bandingkan dengan hasil eksploitasi
tambang yang dilakukan PT. Freeport saja, menurut sejumlah kalangan angkanya
bisa mencapai Rp 8.000 ribu triliun per tahun, meskipun dalam laporan resmi
tidak sebesar itu.
Itu baru satu perusahaan, belum lagi
hasil eksploitasi perusahaan lain, seperti Chevron, Newmont, Exxon, Caltex, dan
sebagainya. Kekayaan tambang bangsa ini bisa mencapai puluhan ribu triliun,
tapi negara hanya bisa mengantongi keuntungan ratusan triliun saja. Ini jelas
ada tipu-tipu untuk keuntungan segelintir pihak, entah itu perusahaan asing,
mafia tambang, atau oknum pejabat pemerintah.
Belum lagi soal royalti, sesuai
dengan PP No. 45/2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Departemen dan Sumber Daya Mineral, royalti emas di tetapkan
sebesar 3,75%, tembaga 4%, dan perak sebesar 3,25% dari penjualan. Pada PP No.
9/2012 yang belum lama ini keluar, royalti baik untuk emas, perak dan tembaga
tidak mengalami perubahan. Artinya, royalti yang di tetapkan PP yang baru itu
sama dengan PP No. 45/2003. Persoalannya, Freeport misalnya, hanya memberi
royalti kepada pemerintah sebesar 1% untuk emas dan 1,5-3,5% untuk tembaga.
Sebetulnya akar masalah dari angka-angka
yang tidak masuk logika itu, karena Negara, dalam hal ini Pemerintah, tidak
mempunyai kekuasaan penuh, atau setidaknya dominan atas kekayaan tambangnya
sendiri. Sehingga pihak asing-lah yang justru cenderung mendikte kebijakan
Pemerintah.
Dari seluruh perusahaan tambang yang
ada di Indonesia, 85% dimiliki oleh asing. Bahkan, untuk sektor migas, swasta
dan asing sudah mengusai hampir 90%. Chevron (AS) menguasai 45%, Total
(Perancis) 10%, Conoco (AS) 8%, dan Medco 6%. Sementara, tambang emas sebagian
besar dikuasai PT Freeport Indonesia (AS) dan PT Newmont Nusa Tenggara (AS), dan tembaga juga dikuasai
oleh kedua perusahaan asal negeri Paman Sam itu.
Di sisi lain, pemerintah akhirnya
menjadi lemah dalam mengontrol dan mengawasi kekayaan tambang yang dimiliki
negerinya sendiri, sebab kekuatan asing sudah begitu mengkooptasi. Sementara
perusahaan asing pun dengan semena-mena mengeksploitasi, bahkan sudah merasa
kekayaan alam itu seperti miliknya sendiri.
Tidak hanya berbagi keuntungan yang
sedikit kepada Negara, mereka juga membawa hasil tambang ke negara mereka, dan
meninggalkan sisa-sisa kerusakan yang membahayakan penduduk yang tinggal di
kawasan bekas tambang itu. Ini kezaliman terhadap sebuah bangsa yang luar
biasa.
Hingga saat ini, faktanya tidak ada satu
pihak pun, publik maupun Pemerintah, yang mampu memastikan berapa sesungguhnya
kekayaan tambang yang berhasil dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing
itu di negeri ini. Di sinilah, tipu-tipu
banyak terjadi. Mereka dengan seenaknya membuat laporan berupa data dan angka
produksi tanpa bisa dikonfirmasi kebenarannya.
Akhirnya, penerimaan Negara dari sektor
tambang pun banyak mengalami kebocoran. Belum lagi, banyak perusahaan tambang
yang juga mengakali laporan pajaknya untuk menghindari pajak yang lebih besar.
Celakanya, praktik ini melibatkan oknum-oknum pejabat negara, baik dari pegawai
pajak maupun penegak hukum.
Akibat praktik tipu-tipu, baik data
maupun angka barang tambang itu, rakyatlah yang kemudian menerima dampak
kerugian paling besar. Yaitu tidak menikmati kesejahteraan yang dihasilkan oleh
barang tambang yang bersumber dari kekayaan negerinya sendiri. Ini jelas-jelas
sudah melanggar konstitusi dasar kita, yaitu pasal 33 UUD 1945, di mana
dinyatakan bahwa kekayaan alam di daratan maupun perairan harus
sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Faktanya, hingga hari ini kebanyakan
masyarakat Papua tetap miskin dan tertinggal sejak eksplorasi emas dan tembaga
di bumi Cendrawasih itu. Sebagian masyarakat Kalimantan Timur belum bisa
menikmati listrik. Bahkan, di Kalimantan Selatan, meskipun sudah ada jaringan
listrik ke desa-desa, tapi sering byar-pet, karena pasokan listriknya kurang.
Hingga mahasiswa di Banjarmasin berinisiatif mengumpulkan koin, dengan harapan
bisa membiayai pembuatan pembangkit sendiri.
Padahal, kedua wilayah itu adalah
penghasil batubara. Tidak sedikit orang di Jakarta, bahkan di belahan lain di
dunia dibuat kaya oleh tambang batubara di Kaltim dan Kalsel itu, tapi penduduk
di kaki pegunungan Meratus dan Kabupaten Kutai Kertanegara tetap hidup
sederhana dengan menjadi penonton truk-truk tambang hilir mudik mengangkut
batubara yang dikeduk dari hutan dan perbukitan di kampung mereka.
Dalam teropong yang lebih luas lagi,
bangsa ini ternyata masih menanggung utang luar negeri yang luar biasa
besarnya. Bank Indonesia mencatat, bila tahun 2006 utang luar negeri mencapai
USD 132,61 miliar, di tahun 2012 ini tercatat USD 221,60 miliar. Kita pantas curiga, jangan-jangan
karena jebakan utang itu, membuat siapapun pemerintahan yang berkuasa sejak
zaman Presiden Soeharto, tidak pernah berdaulat mengelola sumber daya alamnya
sendiri untuk kemakmuran bangsanya. Dan ini tentu saja sangat mengusik rasa
keadilan kita.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Luar biasa postingannya...patut diberi apresiasi. Seandainya saja masih banyak orang2 diluar sana seperti anda, saya optimis Indonesia perlahan-lahan bisa keluar dari lingkaran setan. Cuma sayang didalam negeri kita sendiri banyak juga setan yang buat jerat untuk bangsanya sendiri.
BalasHapus