Krisis kepemimpinan dan ketiadaan figur calon pemimpin
berkarakter ternyata bukan saja menjadi kegelisahan kalangan aktivis atau
pemerhati bangsa. Masyarakat secara umum juga merasakan kegelisahan yang sama.
Bahkan, lebih jauh mereka menilai saat ini tidak ada lagi sosok pemimpin
berkarakter yang mampu mengatasi persoalan bangsa. Akhirnya, rakyat yang merasa
tak punya pemimpin berkarakter, sekarang menjadi minder.
Pada pengujung tahun 2012 lalu, Litbang Kompas melakukan
jajak pendapat terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia. Temanya
tentang ketiadaan sosok pemimpin yang dianggap mampu mengatasi persoalan
bangsa. Hasilnya, dari 10 responden, 6 di antaranya tidak bisa menyebutkan nama
tokoh pemimpin masa kini yang dinilai mampu menyelesaikan persoalan bangsa.
Secara khusus, bahkan sepertiga bagian dari responden menyatakan, tidak ada
satu pun sosok yang bisa memimpin bangsa dalam melewati berbagai hambatan saat
ini maupun di masa datang.
Tidak adanya sosok pemimpin yang berkarakter, menurut
sebagian besar responden, ditunjukkan dengan sejumlah indikator, seperti
rendahnya kinerja pemimpin dalam mengelola konflik ataupun menuntaskan sejumlah
persoalan.
Korupsi di kalangan pejabat negara misalnya, dikeluhkan oleh
83,2 persen responden. Praktik penyalahgunaan kekuasaan itu terus terjadi
secara masif, meskipun pada saat yang sama Komisi Pemberantasan Korupsi terus
melakukan upaya pemberantasan.
Sejumlah persoalan lain, dinilai responden belum juga
diselesaikan secara tuntas, misalnya berbagai tindak kekerasan yang dialami
kelompok minoritas agama, konflik tanah antara perusahaan besar dan petani
kecil, atau kekerasan terhadap buruh migran di luar negeri, dan lain
sebagainya. Rata-rata responden tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan
para elite pemimpin, baik pemimpin formal maupun non formal seperti pemimpin
adat dan agama.
Sudah sedemikian parahkah pesimisme bangsa kita, sehingga
menganggap kehadiran sosok pemimpin berkarakter hanyalah mimpi? Sudah hilang
harapankah rakyat negeri ini? Sehingga mereka merasa harus siap bahwa siapa pun
yang akan memimpin bangsa ini, mereka tetap akan sendiri. Rakyat tetap akan
menghadapi persoalan hidupnya sendiri-sendiri. Bahkan, dalam bahasa yang amat
pesimis, mereka mengatakan, ada atau tidak pemimpin, mereka tetap harus tegar
menghadapi masalah hidup masing-masing. Pergantian pemimpin yang terjadi selama
ini, bagi rakyat ternyata hanyalah drama yang melahirkan tragedi demi tragedi.
Pemimpin
Berkarakter
Ketiadaan pemimpin berkarakter, membuat rakyat saat ini tidak
merasakan pengaruh dari keberadaan seorang pemimpin. Sementara rakyat meyakini
bahwa karakter seorang pemimpin akan memberikan pengaruh terhadap perjalanan
suatu bangsa.
Di masa lalu misalnya, sosok Soekarno benar-benar menjadi
inspirasi bagi upaya membangun negara dan bangsa yang merdeka dan mandiri.
Soekarno adalah simbol pemimpin yang memiliki karakter kuat dan mampu
melahirkan gagasan besar, terutama nasionalisme. Sehingga di masa
kepemimpinannya, gagasan ekonomi berdikari berkumandang kuat. Soekarno berani
menyatakan “tidak” kepada Amerika Serikat.
Dalam diri Soeharto, terlepas segala kekurangannya, banyak
orang masih menilai, setidak-tidaknya dia masih memiliki karakter yang tegas
meski otoriter. Dengan karakter itulah, Orde Baru berhasil menjalankan program
pembangunan, kendati salah satunya dengan cara membungkam opini kelompok yang
berseberangan. Di bawah kepemimpinan Soeharto-lah, berbagai perbedaan pendapat
ataupun konflik terbuka mampu diselesaikan, meski dengan cara-cara militer,
penggunaan kekerasan, dan tanpa kompromi. Di bawah rezim otoriter itu ideologi
pembangunan dilaksanakan oleh mesin birokrasi yang berwatak sentralistis,
bekerja sama dengan modal asing dan para kapitalis klien. Jangan lupa, pada
satu sisi Soeharto dianggap berhasil.
Pascareformasi, mungkin Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang
terbilang pemimpin punya karakter, meski berbeda dibanding pemimpin sebelumnya.
Gus Dur mampu mendekonstruksi wacana kekuasaan yang sebelumnya sakral menjadi
lebih lunak dan terbuka. Politik keberagaman menjadi watak dari
kepemimpinannya.
Gus Dur mampu merekatkan mozaik etnisitas dan agama, meski
akhirnya terpaksa harus mengakhiri kepemimpinan di tengah jalan. Diakui atau
tidak, kini banyak kalangan yang justru merindukan kehadirannya, terutama
ketika berbagai praktik diskriminasi terus terjadi saat ini. Praktis, setelah Gus
Dur, bangsa Indonesia belum lagi menemukan sosok pemimpin berkarakter.
Menurut hampir seluruh responden jajak pendapat Kompas,
pemimpin yang berkarakter adalah harus mempunyai ketegasan dalam menegakkan
hukum. Sementara, apa yang terjadi belakangan ini adalah tragedi-tragedi
menyayat hati tentang ketidakadilan. Sebuah tontonan kekalahan kaum lemah atas
kaum penguasa. Hukum dan keadilan hanyalah mainan kalangan pemilik modal dan
kekuasaan. Sebab itu, dalam jajak pendapat tersebut, ketika responden ditanya tentang
sosok pemimpin yang memiliki karakter, proporsi terbesar responden tidak bisa
menyebutkan sebuah nama pun sosok pemimpin saat ini.
Sungguh ironi,
ditengah jargon yang sering dikumandangkan para pemimpin negeri ini
bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Namun, praktik pelanggaran hukum dan
diskriminasi di hadapan hukum terus saja berlangsung dan menjadi antitesis dari
ungkapan itu.
Karakter pemimpin yang lain menurut para respunden jajak
pendapat, yang langka saat ini pada diri pemimpin Indonesia, adalah sifat
tuntas dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kita saksikan, betapa seorang
Presiden kita adalah seorang peragu, yang bersifat amat hati-hati (untuk tidak
mengatakan lamban) dan penuh perhitungan dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Di tengah sebagian besar masyarakat kita berharap bahwa
pemimpin harus memiliki ketegasan dalam penegakkan hukum, pemimpin kita,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan barangkali banyak para pemimpin lain di
negeri ini, juga para calon pemimpin yang akan datang justru tidak memiliki
sifat atau karakter seperti itu.
Tak perlu disangkal. Sebab faktanya pemerintahan saat ini
berulang-ulang memperlihatkan drama penegakan hukum yang karut-marut.
Institusi
Calon Pemimpin
Siapa yang patut bertanggung jawab atas situasi krisis
kepemimpinan seperti yang terjadi saat ini?
Yang harus menjadi sorotan paling pertama sebenarnya adalah
institusi formal calon pemimpin, tak lain adalah partai politik. Sebab
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini belakangan terus merosot. Menjamurnya
praktik korupsi dan politik uang di kalangan elite parpol membuat sebagian
besar masyarakat tidak lagi menaruh percaya kepada lembaga ini.
Publik lebih percaya kepada lembaga pendidikan seperti kampus
untuk melahirkan calon pemimpin masa depan. Dalam jajak pendapat Kompas
misalnya, kepercayaan responden terhadap institusi pendidikan dalam mencetak
kader pemimpin berkarakter sebesar 71,6 persen. Proporsi responden yang juga
cukup besar, yakni lebih dari separuh bagian, menyebutkan institusi militer dan
birokrasi mampu mencetak para pemimpin. Sementara lembaga seperti partai
politik, institusi bisnis, dan ormas tidak banyak dipercaya lagi akan bisa
melahirkan pemimpin.
Ini tentu kondisi yang ironis di mana parpol seharusnya
menjadi wadah bagi lahirnya calon pemimpin, mengingat dalam sistem demokrasi
kita, parpol-lah yang dapat mencalonkan pemimpin, baik presiden atau wakil
presiden.
Masalah lain, akademisi yang kerap dinilai punya integritas
tinggi karena mendasarkan langkahnya pada kepentingan obyektif, pada
kenyataannya tidak demikian. Sejumlah pemimpin yang berasal dari institusi
pendidikan juga tidak bisa terlepas dari kepentingan politik baik pribadi
maupun kelompoknya. Ketika dia masuk ke dalam sistem pemerintahan maupun
lembaga negara, kedua kepentingan itu justru yang lebih menonjol dan segera
menggerus integritas yang dimilikinya. Jika demikian, masih adakah harapan bagi
lahirnya sosok pemimpin berkarakter di masa depan?
Mantan anggota DPR dan aktivis 77/78, M. Hatta Taliwang
meyakini jika bangsa ini masih melakukan proses pemilihan pemimpin dengan cara
yang ada seperti sekarang, maka tidak akan lahir pemimpin yang diharapkan
mansyarakat. “Kita tahu, semua pemimpin dan calon pemimpin yang ada sekarang di
partai-partai politik adalah produk kapitalisme, semua hasil transaksi,”
tegasnya. Bahkan menurutnya, jika Pemilu 2014 masih diadakan, dia yakin tidak
akan lahir pemimpin bangsa yang mempunyai karakter.
Menurut Hatta, sesungguhnya yang diperlukan bangsa Indonesia
sudah jelas, yaitu revolusi. Tapi entah mengapa, meski masyarakat sepertinya
sudah jenuh dengan kondisi ini, revolusi tak terjadi juga. Tapi, Hatta yakin
bahwa secara diam-diam, pada tingkat-tingkat tertentu revolusi telah terjadi.
“Kita harus yakin bahwa revolusi telah bergulir. Kita lihat,
pemerintahan yang ada sekarang ini sebenarnya hanya eksis secara konstitusional
saja, di tingkat grassroot
kepercayaan terhadap pemerintah sebenarnya sudah tidak ada lagi,” pungkas
Hatta.
Hasil
jajak pendapat Kompas September 2012
terhadap 686 responden di 12 kota besar Indonesia mengenai pemimpin.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar