Kalau Nusa Tenggara Timur (NTT)
masuk dalam deretan provinsi miskin bisa dimaklumi, karena memang miskin sumber
daya alam. Tapi kalau Papua miskin itu jelas ada sesuatu yang salah. Bayangkan
saja, sejauh mata memandang pulau dengan ciri khas penduduknya berambut
keriting itu, adalah hamparan kayu tropis, emas, tembaga dan masih banyak lagi
sumber daya alam lainnya.
Benar apa yang ditulis futurolog
Amerika kenamaan, John Naisbit, dalam bukunya Global Paradox tentang
paradoks-paradoks yang akan terjadi akibat fenomena globalisasi. Dan kini,
paradoks itu tampak begitu nyata di tanah Papua. Tanah dengan kekayaan alam
yang melimpah ruah, namun penduduknya masuk dalam deretan yang termiskin di
bumi Indonesia.
Mengacu data Badan Pusat
Statistik (BPS) Juli 2012 Propinsi Papua merupakan yang termiskin di Indonesia
dengan persentase penduduk miskin mencapai 31%. Propinsi lain dengan kemiskinan
yang tinggi adalah Nusa Tenggara Timur (21,23%), Nusa Tenggara Barat (19,73%),
dan Nangroe Aceh Darussalam (19,57%).
Di lihat dari sisi mana pun yang
terjadi di Papua adalah sebuah ironi. Betapa tidak, PT. Freeport, perusahaan
pertambangan emas dan tembaga terbesar di dunia ada di sana. Perusahaan ini
telah mendulang ratusan dollar Amerika dari perut bumi Papua, semenjak
keberadaannya di tahun 1967. Freeport yang awalnya merupakan perusahaan kecil,
kini telah menjelma menjadi perusahaan tambang raksasa kelas dunia yang
mempunyai total aset 32,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp.288,63 triliun
(laporan tahunan Freeport McMoRan Copper & Gold akhir tahun 2011,
www.fcx.com).
Sebagian besar kekayaan
perusahaan ini merupakan keuntungan ekplorasi di bumi Cendrawasih itu. Namun,
coba lihat apa yang didapat rakyat Papua? Hingga saat ini mereka masih berada
dalam kubangan kemiskinan, tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan dan
pendidikan yang layak, serta terjebak dalam situasi konflik yang
berkepanjangan.
Naas dan juga memilukan melihat
fakta ini. Kesejahteraan yang seharusnya menjadi milik rakyat Papua, justru
berubah menjadi kemalangan. Orang-orang asing para pemilik saham dan investor
yang menanamkan modal di PT Freeport inilah yang justru menikmati kekayaan alam
Papua. Dengan semena-mena mereka membawa kekayaan alam Papua ke negerinya.
Sementara, tanpa daya, rakyat
setempat hanya bisa menyaksikan tanah airnya dieksploitasi dan menyisakan
kerusakan lingkungan yang luar biasa dahsyatnya. Kalaupun ada penduduk yang
menjadi pekerja di perusahaan tambang itu, mereka digaji jauh lebih rendah di
bawah standar internasional.
Kemiskinan dan ketidakadilan
yang berkepanjangan dirasakan oleh rakyat Papua sebagai sebuah ironi. Oleh
karena itu, tidak heran jika pergolakan, baik sosial maupun politik, tidak
pernah usai di wilayah itu. Otonomi khusus yang meniscayakan pertambahan dana
pembangunan ternyata juga tidak menyelesaikan masalah, karena dana dari
pemerintah pusat yang hampir mencapai Rp 5 triliun itu, konon hanya
terdistribusi kepada kalangan tertentu saja, dan sebagian besar rakyat terpaksa
menerima nasib semula, miskin.
Lebih menyedihkan lagi, ketika
protes atas ironi yang dirasakan masyarakat Papua itu, disikapi secara represif
oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu, termasuk Negara yang
dalam hal ini justru melindungi objek-objek vital milik asing, bukan melindungi
rakyatnya sendiri.
Dengan berbagai alasan,
cara-cara militeristik diterapkan, bahkan terhadap masyarakat sipil yang tak
bersenjata sekalipun. Betapa banyak cerita kekerasan terhadap rakyat Papua yang
berujung pada kematian yang tak dapat diungkap siapa pelakunya.
Kisah Pedih Mama Yosepha
Sejak PT Freeport masuk ke
Timika banyak penduduk setempat yang lari kemudian bersembunyi di hutan-hutan
karena ketakutan. Konflik antara masyarakat dan militer Indonesia pun berlangsung.
Lalu sekitar tahun 1982 sekitar 50 keluarga menyerah kepada tentara Indonesia.
Pada tahun 1984 pemboman terjadi di beberapa kampung, sehingga terjadi
pengungsian besar-besaran, termasuk masyarakat Amungme.
Adalah Yosepha Alomang atau yang
biasa dipanggil Mama Yosepha, seorang perempuan Amungme, memimpin masyarakat
untuk membersihkan mayat-mayat yang terdiri dari anak kecil dan orang tua yang
berserakan. Sulit ditaksir banyaknya.
Setelah pekerjaan selesai,
mereka kembali bersembunyi di hutan. Namun sayang, di hutan mereka banyak yang
meninggal karena malaria dan kondisi yang sulit di hutan. Maka, pada tahun
1987, mereka menyerahkan diri untuk yang kedua kalinya dan ditampung di sebuah
kamp ‘sosial’.
Tahun 1994, Mama Yosepha dan
Yuliana Magal ditangkap karena membelikan pakaian dan jaring ikan untuk
komandan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik. Mereka dibawa ke pos
militer kemudian dipindahkan ke pos polisi. Di sana, mereka disekap sebulan
lamanya dalam sebuah peti kemas (kontainer) yang difungsikan sebagai kakus bagi
aparat keamanan.
Mereka bertahan hidup dalam
kondisi sangat susah dalam genangan tinja. Selama masa penahanan, mereka juga
mengalami penyiksaan luar biasa. Setelah dibebaskan, mereka dikenakan wajib
lapor selama lima tahun.
Hingga kini, Mama Yosepha tetap
berjuang membela hak-hak asasi rakyat Papua, walaupun telah berkali-kali
ditahan. Pada tahun 1990-an, Mama Yosepha ditahan karena memprotes pengembangan
areal airport, perumahan karyawan, dan Hotel Sheraton oleh PT Freeport yang
mengambil tanah masyarakat di sekitar Timika.
Kekerasan Seksual
Selain Yosepha Alomang, kejadian
serupa juga menimpa rakyat Papua lainnya. Dalam mengamankan lokasi penambangan,
aparat selalu menggunakan cara-cara kekerasan terhadap penduduk lokal. Pada
tahun 1977 tentara melakukan serangan balasan terhadap masyarakat yang dianggap
merusak infrastruktur PT Freeport. Dalam peristiwa tersebut, seorang mama
menjadi korban pemerkosaan.
Seminggu sebelumnya, sang mama
baru saja melahirkan seorang anak. Ketika ia bekerja di kebun ia diperkosa oleh
tiga orang tentara dan dipukul dengan senjata sampai pingsan, lalu dilemparkan
ke parit. Akibat peristiwa itu, ia mengalami sakit tulang belakang, tidak bisa
bekerja, dan menderita pendarahan selama lima bulan. Ironisnya, mama ini
kembali menjadi korban pada saat terjadi perang suku di Timika tahun 2003. Ia
kehilangan ternak dan perabotan rumahnya karena dirampas sehingga ia terpaksa
pindah ke tempat baru.
Operasi militer di masa Orde
Baru yang dikenal dengan Operasi Belah Rotan dari pasukan Tribuana berlangsung
di wilayah Timika sekitar tahun 1985-1995 dan selama itu telah terjadi banyak
kekerasan terhadap warga sipil dari mulai kekerasan fisik hingga kekerasan
seksual, hingga saat ini para pelaku kekerasan tersebut tidak banyak yang
ditindak secara hukum. Para korban, yang kebanyakan masyarakat sipil Papua
terpaksa menerima nasib hidup bersama kenangan yang kelam.
Dua kisah yang dikutip dari
dokumen bersama kelompok kerja pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM
perempuan Papua tahun 2009-2010 itu, memperlihatkan betapa rakyat Papua
dihadapkan pada ironi yang sangat nyata. Di mana pada satu sisi mereka memiliki
kekayaan alam yang luar biasa, tapi di sisi lain kekayaan alam itu
diekspolitasi sedemikian rupa, bukan untuk kepentingan mereka.
Lalu ketika mereka menuntut
kesejahteraan sebagai imbal balik eksploitasi tersebut, mereka malah dianggap
makar atau mengganggu aktivitas pertambangan. Kemudian dengan semena-mena
petugas menangkap, menganiaya, bahkan membunuh tanpa proses hukum. Sungguh
kenyataan yang menyedihkan.
Kerusakan Lingkungan
Selain drama kekerasan,
kehadiran PT Freeport di Papua juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang
sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi suku Amungme yang mendiami
dataran tinggi di Puncak Grasberg maupun suku Kamoro di dataran rendah Mimika.
Pencemaran lingkungan baik mulai dari gunung biji yang dikenal masyarakat
setempat sebagai ‘Nemang Kawi’, sungai Wanagong, sampai ke dataran rendah suku
Kamoro yaitu sungai Aikwa.
Menurut laporan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tahun 2006, telah terjadi perusakan
lingkungan yang luar biasa sepanjang tambang Freeport beroperasi. Di antaranya,
Freeport telah membuang 1 miliar ton tailing ke sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa.
Freeport sendiri mengklaim bahwa pembuangan limbah ini telah sesuai standar
internasional, padahal sesungguhnya itu tidak benar.
Sungai Ajkwa Bagian Bawah
mengandung 28-42 mikrogram per liter (mg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air
tawar di Indonesia yaitu 20 mg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut
pada air tawar sebelum muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22–25 mg/L
bahkan bisa mencapai 60 mg/L.
Selain itu, kandungan tambang di
Grasberg yang luas menjamin usia tambang yang panjang, sehingga bagi Freeport,
yang paling menguntungkan adalah mengolah bijih dalam jumlah yang sangat besar
setiap harinya, dan membuang 14% tembaga yang terkandung dalam bijih, yang
akhirnya tertinggal di tailing yang dibuang ke sungai.
Dengan alasan yang sama,
sejumlah besar batuan yang mengandung tembaga juga dikeruk dan dibuang tanpa
diolah dulu. Alasannya, perusahaan memilih untuk mendapatkan bijih berkualitas
tinggi secepat mungkin. Menurut WALHI, Lebih dari 3 miliar ton tailing dan
lebih dari 4 miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi Freeport
sampai penutupan pada tahun 2040.
Secara keseluruhan, Freeport
menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga per tahun yang dibuang ke sungai sebagai Air
Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD)
dalam bentuk buangan (leachate) dan
tailing. Pencemaran logam berat semacam ini mengakibatkan kerusakan lingkungan
serius pada air tanah, sungai, dan muara di hilir.
Hampir semua limbah batuan dari
tambang Grasberg sejak tahun 1980-an sampai 2003 yang berjumlah kira-kira 1.300
juta ton berpotensi membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke sejumlah
tempat di sekitar Grasberg dan menghasilkan ARD dengan tingkat keasaman tinggi
mencapai rata-rata pH = 3.
Erosi dari limbah batuan
mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil juga
telah menyebabkan sejumlah kecelakaan fatal. Kestabilan gundukan limbah batuan
merupakan problem serius jangka panjang, selain juga telah menghancurkan
situs-situs penting bagi suku Amungme seperti danau Wanagon yang sudah lenyap
terkubur di bawah tempat pembuangan limbah batuan di Lembah Wanagon.
Selain itu, sejumlah danau merah
muda, merah dan jingga telah hilang, dan padang rumput Carstenz saat ini
didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya. Jika sudah demikian, adakah
harapan bagi masyarakat Papua untuk dapat menikmati kekayaan alamnya? Sementara
yang tersisa hanya puing-puing kerusakan belaka, yang suatu saat dapat menjadi
sumber malapetaka untuk mereka.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar