Sejak Indonesia belum merdeka, masyarakat di kepulauan Nusantara sudah
mengenal pertambangan. Awalnya, kegiatan penambangan tradisional dilakukan
penduduk lokal setempat, ada diantaranya yang mengantongi izin penguasa
setempat, seperti raja atau sultan. Besarnya potensi pertambangan itu menggoda
minat VOC, maskapai perdagangan Belanda yang sudah menancapkan kuku di kepulauan
Nusantara, untuk melakukan riset yang mendalam tentang potensi minyak di bumi
jajahannya.
Tak lama setelah itu, sejumlah perusahaan minyak asing berdatangan ke
Indonesia. Konsekuensinya, para penambang tradisional dengan peralatan
sederhana tersingkir. Bahkan kini, setelah 67 tahun Indonesia Merdeka, 85%
pertambangan dikuasai penambang-penambang asing.
Sektor hulu migas pun, kini 80% sudah jatuh ke tangan asing. Raksasa
minyak Chevron (USA) menguasai 44%, disusul Total (Perancis) 10%, Conocophilips
(USA) 8%, dan Pertamina sebagai BUMN milik Indonesia hanya kebagian 16%.
Selebihnya, 8% dikuasai perusahaan-perusahaan asing lainnya dan 4% oleh
perusahaan minyak swasta nasional.
British Petroleum Statistical Review juga mencatat, dari total 225 blok
migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok
dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan
nasional, dan sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan lokal.
Kenyataan itu sungguh menjelaskan, betapa tidak berdaulatnya Indonesia di
bidang energi.
Bila minyak sudah jatuh ke tangan asing, bagaimana pula dengan sumber daya
mineral lainnya? Parah!
Di Kalimantan Tengah (Kalteng) saja, tercatat 20% luas lahan pertambangan
dikuasai asing. Perusahaan-perusahaan penambang itu bisa memiliki banyak
konsesi. Di Kalteng saja misalnya, terdapat lebih dari 675 perusahaan
pertambangan dengan luas lahan yang digarap sekitar 3,78 juta ha. Dari jumlah
itu, sekitar 20 perusahaan diantaranya merupakan milik asing dengan luas lahan
yang digarap 720.000 ha.
Sejumlah perusahaan China dan India berhasil menguasai tambang-tambang
skala kecil. Para investor dari kedua negara itu membiayai perusahaan tambang
lokal yang terancam gulung tikar. Keduanya diketahui memang sangat agresif
mencari sumber daya batubara sebagai pengganti minyak di luar negeri.
Penguasaan kekayaan tambang Indonesia oleh sejumlah perusahaan asing
adalah penjajahan dalam bentuk lain. Betapa tidak, pengerukan kekayaan tambang
tidak berbalas keuntungan apa-apa bagi bangsa ini, selain hanya meninggalkan
penderitaan rakyat yang tak berkesudahan.
Kendati demikian, kerakusan asing bukanlah satu-satunya faktor yang patut
dianggap sebagai biang keladi. Sebab praktik “penjajahan” sektor tambang ini
terus berlanjut karena adanya konspirasi yang juga melibatkan pihak dalam
negeri sendiri, baik oknum pejabat pemerintah, mafia lokal, atau perusahaan
swasta dalam negeri. Kepemilikan saham mayoritas membuat perusahaan asing
leluasa berkonspirasi dan mengkooptasi kebijakan-kebijakan pemerintah agar
menguntungkan pihak mereka.
Sebut saja misalnya, perusahaan tambang emas raksasa PT Freeport
Indonesia, saham mayoritasnya dikuasai oleh perusahaan asal Amerika (81,28%),
sementara perusahaan lokal PT Indocoper Investama hanya memiliki saham 9,36%,
dan pemerintah Indonesia 9,36%.
Hal yang sama terjadi pada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Saham mayoritas
(80%) dikuasai PT Newmont Mining Corp (Amerika), sisanya sebesar 20% dimiliki
oleh PT Pukuafu Indah milik Yusuf Merukh. Kemudian PT Newmont Minahasa Raya,
perusahaan tambang Amerika Newmont Indonesia Ltd ini menguasai 80% saham dan
sisanya 20% dimiliki PT Tanjung Serapung.
Lalu PT Nusa Halmahera Minerals Ltd (PT NHM), perusahaan tambang jenis
produksi emas ini berlokasi di Pulau Halmahera. Di Perusahaan ini Newcrest
Singapore Holdings Pte Ltd (Australia) menguasai saham 82,5%, dan sisanya PT
Aneka Tambang (Indonesia) 16,5%. Komposisi saham seperti di sebut tadi cukup
menggambarkan kecenderungan memposisikan pihak lokal (swasta nasional dan
pemerintah) sebagai antek semata.
Dan kecenderungan itu membuka lebar pintu konspirasi yang menguntungkan
pihak asing dan pihak-pihak lokal tertentu. Di sinilah letak kejahatannya.
Negara atau rakyat yang semestinya menangguk keuntungan dari kekayaan tambang,
akhirnya justru menjadi pihak yang paling dirugikan.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang pernah dibentuk Presiden menemukan
fakta yang menguatkan, yaitu bahwa persekutuan kekuatan kelompok pemodal
(pengusaha) dan pemegang kebijakan (penguasa) melahirkan mafia-mafia
pertambangan. Pada praktiknya persekongkolan jahat ini menyebar ke segala
sektor terkait.
Maka terjadilah konspirasi
terkait masalah perizinan, penggelapan pajak dan royalty, gratifikasi dan suap,
pengingkaran domestic market obligation
(DMO), penyerobotan lahan, tumpang tindih lahan pertambangan, ekspor ilegal,
dan kerusakan lingkungan. Negara sangat dirugikan, dan lagi-lagi rakyatlah yang
paling merasakan dampak kerugian itu. Di Kalimantan misalnya, ditemukan
sedikitnya 1.869 perizinan tambang dan perkebunan berada di dalam kawasan hutan
yang diterbitkan tidak sesuai prosedur.
Fakta di atas cukup menggambarkan betapa Pemerintah telah gagal sebagai
regulator, dan hanya menjadi komprador serta pelayan pihak asing. Sehingga
sejumlah pengamat dengan mudah mensinyalir bahwa dalam pertemuan Presiden
Amerika Barrack Obama dan SBY di Bali akhir 2011 lalu terselip agenda
intervensi negara Paman Sam itu dalam mengamankan dua perusahaan besarnya,
yaitu Freeport dan Newmont.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar