Indonesia dikenal dunia sebagai negara besar, baik luas
wilayah maupun penduduknya. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 237 juta jiwa
tentu seharusnya tidaklah sulit mencari pemimpin dengan kriteria yang ideal.
Namun, setelah 67 tahun bangsa ini merdeka, pemimpin yang benar-benar ideal itu
masih sulit dicari. Jumlah mereka masih terhitung jari.
Dalam literatur mengenai kepemimpinan, ada dua pandangan
berbeda tetapi tak jarang saling melengkapi terkait apa yang dinamakan seorang
pemimpin. Pandangan pertama, menyatakan bahwa pemimpin itu merupakan cerminan
dari keadaan masyarakat. Namun yang kedua menyatakan bahwa pemimpin merupakan
cerminan dari kepribadian. Dalam psikologi politik, dua pandangan itu secara
terpadu digunakan untuk menjelaskan perilaku aktor politik.
Dalam terminologi psikologi politik, seseorang pantas
memimpin jika memiliki karakteristik dan perilaku yang mampu, layak dan cakap. Baik itu di
lingkungan sosial keluarga, organisasi hingga dalam lingkup bernegara. Artinya,
dengan karakter dan perilakunya, dia mampu menggerakkan massa untuk berbuat
sesuai dengan keinginannya. Dari sinilah pemimpin akan mempelajari pikiran
khalayak luas. Dengan cara itu mereka dapat meraih kekuasaan dalam rangka
menjalankan roda organisasi seperti partai politik, ormas, hingga sebuah
negara.
Selain
itu, syarat seorang pemimpin adalah harus memiliki semangat dan emosi, yang
setiap saat mampu diia gunakan secara tepat. Sejarah mencatat banyak tokoh
pemimpin yang mampu menghipnotis rakyat atau bangsanya untuk melakukan sebuah
gerakan revolusi. Hal ini pula lah yang dimiliki oleh para pemimpin kita di
masa perang kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu para pemimpin punya karakter
dan semangat yang kuat dalam mendorong rakyatnya melakukan gerakan perubahan
menuju kemerdekaan. Saat ini apakah masih ada pemimpin seperti itu? Ternyata,
sistem negara yang bobrok dan terkooptasi oleh kepentingan kapital, telah
membuat mental para pemimpin yang ada saat ini menjadi kerdil.
Syarat lain bagi pemimpin agar dapat diterima baik di
masyarakat adalah mampu memanfaatkan pencitraan, tentu untuk kemajuan bangsa
dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Seiring dengan makin
canggihnya teknologi, seorang pemimpin masa kini memang dituntut harus bisa
berkomunikasi dalam rangka menginformasikan setiap kebijakannya kepada pubik.
Mengingat, saat ini kesadaran publik akan transparansi begitu
tinggi. Kemajuan teknologi komunikasi informasi, hendaknya tidak dimanfaatkan
untuk pencitraan diri seorang pemimpin un
sich tetapi lebih dimanfaatkan untuk
membangun iklim bernegara yang terbuka, transparan dan akuntable.
Teknologi komunikasi selayaknya tidak digunakan oleh pemimpin
untuk menyuguhkan fakta-fakta yang berbanding terbalik dengan fakta
sesungguhnya di masyarakat. Media teknologi tidak boleh digunakan untuk
membohongi dan membodohi masyarakat. Media teknologi harus digunakan untuk
membangun kejujuran bersama. Menyuguhkan fakta-fakta kebenaran yang membuat bangsa
ini sadar akan potensi besarnya.
Dalam pandangan psikologi politik, kemampuan (skill) seorang pemimpin yang
dikolaborasi dengan karakter yang kuat serta nasionalisme yang kokoh, berperan
amat besar dalam mengubah nasib suatu bangsa. Jika fakta hari ini, kita merasa
bangsa ini tidak pernah beranjak menuju ke arah yang lebih baik, maka pastilah
ada yang salah dengan psikologi pemimpin kita.
Nasib
Tokoh Non Parpol
Bangsa ini sesungguhnya pernah mencatat sejarah lahirnya para
pemimpin berkarakter kuat. Tercatat nama-nama seperti HOS Tjokro Aminoto,
Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan masih
banyak lagi. Di eranya, para tokoh pemimpin itu dianggap mampu menggerakkan
potensi yang dimiliki bangsa menjadi “sesuatu”, sehingga bangsa ini disegani
oleh bangsa lain. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang jiwa dan raganya telah
dihibahkan untuk kepentingan bangsa dan
negara.
Meski masing-masing tokoh pemimpin memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing, namun mereka setidaknya mempunyai semangat yang sama,
yaitu semangat nasionalisme dan tidak memberi peluang sedikitpun terhadap upaya
kolonialisasi dalam bentuk apa pun.
Lalu
bagaimana pemimpin Indonesia di masa kini? Indonesia tetap membutuhkan pemimpin
yang punya karakter kuat, bersikap mandiri, berpikir merdeka, dan bertindak
hanya untuk kepentingan rakyat. Pemimpin yang mempunyai nasionalisme kuat,
sehingga mampu membendung datangnya bentuk-bentuk kolonialisme baru dari bangsa
asing. Pemimpin yang mau mengambil risiko demi kemerdekaan dan kedaulatan
bangsanya.
Bukan
pemimpin yang mudah disetir oleh para kapitalis, tidak berpihak kepada rakyat,
dan eksploitatif terhadap kekayaan alam untuk kepentingan koorporasi
internasional.
Pemimpin
bangsa ke depan haruslah seorang negarawan, bukan politisi yang berpikir
sektarian, kelompok, atau sempit. Dia juga harus bisa menunjukkan sikap
nasionalismenya di dalam pandangan serta kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Apakah
ada tokoh pemimpin seperti ini? Mestinya ada, hanya saja sistem kepartaian yang
bobrok dan cenderung korup telah mengerdilkan peran mereka sehingga tidak
muncul ke permukaan. Sementara, regulasi dalam sistem demokrasi yang kita
gunakan saat ini masih mengharuskan tokoh yang ingin menjadi pemimpin nasional
menggunakan kendaraan partai politik tertentu. Ini juga menjadi masalah
tersendiri di tengah langkanya parpol yang benar-benar mencerminkan keinginan
rakyat.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
mengamatkan tugas parpol untuk mengusung calon pemimpin nasional. Tapi sebagian
kalangan menilai, saat ini tidak ada satu pun partai yang di dalamnya bebas
dari praktik politik transaksional. Sehingga dengan begitu, banyak yang
memastikan bahwa kader pemimpin yang lahir dari parpol adalah kader produk
transaksi. Ketika memimpin kelak, dia pasti akan tersandera dengan
transaksi-transaksi politik yang telah dilakukan sebelumnya, baik dengan
kalangan di dalam parpol itu sediri maupun dengan kalangan di luar parpol.
Adanya calon pemimpin dari luar parpol memang dimungkinkan,
yaitu melalui pencalonan independen
sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007. Lembaga pengawal
konstitusi itu membuka kesempatan bagi calon independen untuk maju hanya dalam
pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam hak-hak politiknya.
Putusan MK tersebut dapat diartikan terbentuknya norma hukum
baru karena perubahan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pasal 59 ayat (1) yang semula mengandung arti bahwa pengusulan pasangan calon
kepala daerah hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik.
Munculnya calon independen yang diakui keberadaanya menjadi
norma hukum, juga mengandung arti bahwa pengusulan pasangan calon kepala daerah
tidak hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik,
melainkan juga bagi non partai, yakni setiap warga negara yang dianggap layak
berdasarkan aturan yang berlaku.
Munculnya regulasi mengenai calon independen ini tentu tidak
terlepas dari penolakan terhadap banyaknya calon pemimpin dari parpol yang
dinilai tidak memiliki kapabel dan tidak memiliki karakter serta hanya
mementingkan partai dan golongannya jika dia terpilih menjadi pemimpin.
Calon independen sangat boleh jadi adalah mereka yang bebas
dari tekanan politik, kekuasaan dan uang, serta terbebas dari beban
pemerintahan masa lalu. Calon independen yang tidak punya sumber dana kampanye
berlimpah, dapat secara bersih menggalang dana publik dan tidak menyuap rakyat
untuk memenangkan proses pemilihan karenanya sangat dimungkinkan memimpin nantinya.
Meski pada kenyataannya pasangan calon independen masih
jarang sekali memenangi kontestasi, tapi setidaknya dengan terbukanya pintu
bagi calon independen membuat rakyat mempunyai banyak pilihan terhadap calon
pemimpinnya. Namun sayang, pintu regulasi ini belum terbuka untuk kontestasi
pemilihan pimpinan nasional atau presiden. Tapi, siapa tahu suatu saat kelak
pintu ini bakal terbuka juga. Namun apakah dengan terbukanya pintu bagi calon
independen, lalu secara otomatis akan lahir banyak calon pemimpin yang ideal?
Tentu, harus dibuktikan dulu.
Tulisan: Feri Sanjaya (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar