Untuk menemukan kembali jati diri
pribadi dan jati diri
bangsa, kita harus selalu ingat pada tiga komponen utama yang mewarnai
jati diri, yaitu
sistem nilai (value system), sikap pandang (attitude), dan
perilaku (behavior). Saat
ini kegalauan masyarakat terjadi karena lemahnya kepemimpinan nasional.
Namun kita menyadari kehendak untuk berubah adalah salah satu
anugerah Tuhan kepada manusia, yakni sebagai suatu independent will. Oleh karena itu kehadiran Jokowi
bagaikan harapan baru, dan menggerakkan kekuatan rakyat Indonesia. Minimal
partisipasi pemilih 75%, padahal perkiraan mencapai 35%.
Persoalan pemilihan presiden terlalu
riskan bila hanya diserahkan kepada partai politik. Jadi rakyat harus aktif mengawal, mulai dari Pilpres dan
proses pemenangan nantinya. Pencarian dan penemuan pemimpin bisa
dimulai dengan perumusan kriteria kepemimpinan, sebagai faktor
kunci keberhasilan seorang pemimpin. Jokowi
walaupun tidak sempurna sebagai pemimpin (karena rekam jejak terbatas) tapi dia
punya goodwill untuk perubahan.
Karakter yang terpuji itu juga harus
tercermin dalam kehidupan
sehari-hari. Penyelesaian
di luar sistem harus sudah menjadi paradigma perubahan, dan untuk itu ketaatan tentang
hukum harus jadi panglima, khususnya dalam pemberantasan korupsi.
Washington melihat adanya potensi
akumulasi kekuasaan pada individu presiden, dan merasa
nyaman dengan “kandidat
boneka baru”. Namun Jokowi harus dikawal agar
jangan terjebak dengan Konvensi Indonesia dengan IMF soal arah pembangunan yang
sangat liberal.
Demokrasi sebagai sebuah sistem, maksudnya dapat
dipahami melalui
aturan-aturan yang
disepakati bersama yang bisa meliputi berbagai unsur kehidupan sosial, seperti ekonomi,
politik, dan hukum. Sayangnya di saat reformasi dirumuskan, implementasinya secara emosional dilakukan, sehingga terjebak oleh trap
IMF dengan jargon pro pasar, yang sering anti rakyat Indonesia.
Demokrasi yang kita cita-citakan selama
ini adalah Demokrasi
Pancasila dari segi substansinya. Senantiasa
kita dorong dengan fondasi musyawarah dan mufakat, bahkan menang-menangan
(pemilihan langsung).
Kekuasaan negara yang dimanfaatkan oleh para pegawainya
ini tak pelak menegaskan pendapat bahwa birokrasi di Indonesia tak bisa lepas dari
kekuasaan. Aparat
pemerintahan menjadi alat kekuasaan, alat negara menjadi alat kekuasaan
berbasis uang. Ini menjadi PR utama Jokowi dengan
merevolusi mental para birokrat untuk menjadi “good governance”.
Disadari atau tidak, pola kehidupan
feodal ini makin lama makin mengalahkan keteladanan dan cita-cita
terbentuknya Demokrasi Pancasila. Sementara
budaya liberal tanpa dasar mempercepat hancurnya kehidupan moral bangsa
Indonesia. Oleh karena itu dalam kehidupan politik, JW harus mampu sebagai
tokoh pemersatu dan sanggup merangkul seluruh elemen masyarakat.
Selanjutnya, bagaimana rakyat sebagai pemilih dapat
menjatuhkan pilihan, jika kenal dan tahu pun tidak. Percepatan pengenalan sosok Jokowi tidak dapat kita pungkiri
setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Disayangkan, diperoleh kesan
bahwa partai-partai peserta Pemilu saat ini tidak kental dan
eksplisit ideologinya. Sekutu-sekutu
yang dilakukan adalah berdasarkan kepentingan.
Rekonsiliasi (Moratorium/Islah Nasional) adalah
prakondisi bagi terjadinya masa depan yang lebih baik. PR besar Jokowi adalah bagaimana di
awal pemerintahannya nanti membangun kesamaan visi dan misi dengan parpol di
Senayan. Oleh karena itu Rekonsiliasi Nasional setelah pemenangan harus jadi
agenda utama Jokowi.
Terselenggaranya Rekonsiliasi Nasional
tampaknya memang sudah sangat mendesak guna menciptakan kembali perdamaian
hakiki di atas puing-puing reruntuhan konflik dan kekerasan yang
berlangsung selama ini.
Ketulusan, dedikasi, dan kebersihan diri
kepemimpinan nasional dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah kunci sukses dari rekonsiliasi
itu sendiri. Jokowi harus menjadi inisiator
rekonsiliasi nasional agar carut-marut politik berhenti. Indonesia pasti punya
harapan hidup lebih baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar