Sejak dilahirkan, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, tidak pernah dilaksanakan secara konsisten. Bahkan di awal
1960-an, UU ini “dibajak” Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menebarkan
pengaruhnya, terutama di desa-desa. Karena user
pertamanya PKI, maka UU ini dinilai sejumlah kalangan berbau komunis.
Tapi sesungguhnya, hanya UU No. 5/1960 ini yang sesuai dengan
semangat Pasal 33 UUD 1945, karena UU ini nyata-nyata melindungi kepentingan
bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa. UU ini juga mengatur secara
tegas tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, lebih menjamin produktivitas tanah,
serta mencegah terjadinya kepemilikan tanah secara berlebihan kepada perusahaan
atau perseorangan, sehingga tanah tidak dijadikan obyek perburuan riba pemilik
maupun penguasanya.
Sebut saja Pasal 6 UUPA, tegas menyebutkan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial’, dan Pasal 7 UUPA yang menegaskan “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan,” serta simak juga Pasal 9
ayat (1) hanya warga-negara Indonesia
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa,
dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2, dan 9 ayat (2) tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat
manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Toh demikian, meskipun ada ketentuan maksimal tentang
penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, namun dalam UU ini disebutkan, petani
tidak boleh semena-mena mengambil paksa tanah yang dimiliki tuan tanah
sebagaimana dilakukan PKI di awal 1960-an. Sebab proses yang dikenal dengan
sebutan land reform itu mesti juga
merujuk kepada Pasal 17 ayat (3) “Tanah-tanah
yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan
kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikandung dalam
pasal-pasal UU No. 5/1960, dapat disimpulkan bahwa UUPA sesungguhnya yang
paling sejiwa dengan Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33 yang mengatur
tentang kekayaan bumi, air dan kekayaan di atasnya yang dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Namun, kenapa UU No. 5/1960 tidak pernah dilaksanakan secara
konsisten? Bisa jadi, karena sebagai UU Pokok maka dibutuhkan pengaturan yang
lebih operasional, baik itu mengenai tata ruang, pertanian, perkebunan,
reformasi agraria (land reform),
pemanfaatan kekayaan alam, penanaman modal dan sebagainya. Nah, di pengaturan
yang lebih operasional itu terjadi benturan antara ketentuan pokok dan
ketentuan operasional.
Sebagai contoh, sebut saja terbitnya UU No. 25/2007 tentang
Penanaman Modal (UUPM) yang dalam Pasal 22 membolehkan perusahaan asing
menguasai lahan hingga 95 tahun, dan itu bisa diperpanjang. Itu yang menyangkut
persoalan tanah. Sedangkan persoalan bidang usaha, pada Pasal 12 UUPM ayat (1) semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka
bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang
dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Di sini tidak jelas
tentang penguasaan negara atas sumber daya alam.
Jiwa yang melahirkan UUPM jelas bukan Pasal 33 UUD 1945,
melainkan semangat liberalisasi, privatisasi dan deregulasi yang mengemuka di
awal abad ke-21 ini. Peraturan dibuat dengan bahasa yang lentur sehingga
memungkinkan, (1) terbitnya peraturan-peraturan yang akhirnya bertentangan sama
sekali dengan UU pokoknya, dan (2) memicu terjadinya moral hazard di lingkungan pejabat yang diberi kewenangan membuat
petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis).
Undang-undang No. 25/2007 sendiri merupakan Undang-Undang
hasil revisi dari dua undang-undang penanaman modal yang sudah lama berlaku di
Indonesia selama kurang lebih 40 tahun, yaitu Undang-Undang No. 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) yang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11/1970
tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 1/1967 tentang PMA dan UU No. 6/1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 12/1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6/968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN).
Pemberlakuan kedua UU itu yang kini digabung dalam UUPM
terbukti telah melahirkan kemakmuran bagi segelintir orang dan memarginalkan
sebagian besar orang lainnya. Contohnya petani, kini penguasaan lahannya
semakin menyempit dengan rata-rata menguasai lahan 1/3 hektar. Bandingkan
dengan suatu perusahaan perkebunan nasional yang di Riau saja menguasai lahan
sekitar 600 ribu hektar. Atau Hartati Murdaya yang ditangkap KPK terkait
penguasaan lahan secara ilegal seluas ribuan hektar. Itu baru di Buol, belum di
daerah lain.
Berdasarkan sinyalemen Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Joyo Winoto kepada harian Kompas, 56% aset negeri ini yang 87% berupa tanah
hanya dikuasai oleh 0,2% penduduk Indonesia. Ironisnya pula, di tengah
banyaknya petani yang membutuhkan tanah untuk mengembangkan produksi
pertaniannya, terdapat 7,3 juta hektar lahan yang ditelantarkan oleh perusahaan
yang menguasainya.
Lahirnya UU No. 25/2007 semakin memperkuat pandangan yang
mengatakan adanya pembuatan 72 Undang-undang oleh DPR RI yang diduga kuat
didikte kepentingan asing. Tidak mengherankan bila isinya tampak bertolak belakang
dengan Pasal 33 UUD 1945. Kini penguasaan tanah oleh perkebunan, swasta
nasional maupun asing, jauh lebih banyak bila dibandingkan zaman Belanda
sekalipun. Wajar bila sebagian aktivis menilai ketimpangan penguasaan tanah
sekarang ini disebut neo-cultuurstelsel.
Berdasarkan data
BPS, penurunan kemiskinan di perdesaan yang sebagian besar hidup di sektor
pertanian lebih kecil daripada di perkotaan. Penyebabnya, selain kebijakan
impor pangan yang diakibatkan minimnya produktivitas tanah, juga antara lain karena
kecenderungan terus mengecilnya penguasaan lahan. Tahun 1993 jumlah rumah
tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar mencapai 48,9%
dari total rumah tangga di sektor pertanian. Persentase itu meningkat pada 2003
menjadi 56,4%. Keluarga petani yang memiliki lahan 0,5-3 hektar juga menurun.
Gejala di atas
disebut Guru Besar Institute Pertanian Bogor (IPB) Bungaran Saragih sebagai
kegagalan transformasi negara Indonesia dari agraris ke industri. Memang,
sumbangan sektor pertanian terhadap PDB kecil, hanya 15,8%. Namun mengingat 48%
tenaga kerja hidup di sektor pertanian, bila ditambah yang bergantung secara
tidak langsung mencapai 60%, kita masih negara agraris. Dalam situasi demikian,
tampaknya tidak ada greget dari para elit pemimpin, baik Pemerintah maupun DPR
untuk mengatasi persoalan ini. Bisa jadi, mereka telah kehilangan orientasi
mewujudkan visi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Ketimpangan kepemilikan lahan itu, kini melahirkan
serangkaian konflik pertanahan di berbagai daerah. Ada kalanya pula konflik
pertanahan itu memicu terjadinya konflik horizontal. Terutama antara petani
yang kekurangan lahan pertanian dengan pegawai perkebunan yang menyandarkan
hidup ke perusahaan.
Pemicu konflik, antara lain disebabkan ketidakjelasan
regulasi lahan tanah yang kurang responsif dan berpihak pada kepentingan
rakyat, terutama petani. Kurang optimalnya pemetaan fungsi lahan tanah secara
jelas, baik untuk pertanian, kehutanan dan pertambangan. Dan yang ketiga adalah
kurang optimalnya fungsi sosial tanah, baik untuk pengembangan sumber daya
alam, sumber daya air dan sumber daya manusia.
Dengan hadirnya berbagai konflik pertanahan yang semakin
rutin itu, Perlu dilakukan pelurusan kembali orientasi perundang-undangan
sektoral yang dilakukan pada masa Orde Baru melalui UU No. 1/1967 tentang PMA
yang kini telah diganti dengan UU No. 25/2007 dan UU No. 11/1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok di bidang Pertambangan. Kedua UU ini membuka peluang bagi swasta asing terus
mendominasi dalam pengelolaan sumber daya alam kita.
Di awal reformasi sesungguhnya sudah ada TAP MPR No. IX tahun
2001 yang menegaskan kembali agenda untuk meninjau semua peraturan
perundang-undangan mengenai agraria dan sumber daya alam yang telah menyimpang
dari UUD 1945 dan UU No. 5/1960, serta mengembalikannya pada dasar yang telah
ditetapkan UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 serta UU No. 5/1960
(UUPA).
Namun upaya itu diganjal oleh kokohnya kepentingan asing yang
memiliki kaki-tangan, bukan saja di pemerintahan pusat maupun daerah, melainkan
juga di DPR. Maka, terjadilah berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945 dan UU
No. 5/1960, sehingga melahirkan konflik pertanahan akibat tumpang tindihnya
peraturan yang satu dengan yang lain.
Terkait tanah, di bidang kehutanan pun muncul UU
yang bertentangan dengan spirit UU No. 5/1960. Sebut saja UU No. 5/1967 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No. 41/1999 dan
UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan
itu, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan
dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA.
Akibat karut-marutnya perundang-undangan, BPN
mencatat, sepanjang 2010 setidaknya terjadi 8.000 kasus agraria. Sedangkan
tentang konflik agrarian, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dari tahunke
tahun cenderung meningkat. Bila di tahun 2010 hanya 106 kasus, di 2011 sudah
meningkat drastis menjadi 163 kasus. Di 2012 ini kemungkinan juga meningkat.
Tentang korban, sepanjang 2011 tercatat 22 jiwa yang melayang
akibat konflik pertanahan. Konflik melibatkan 69.975 kepala keluarga, luas area
konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97
kasus pada sektor perkebunan (960%), 36 kasus di sektor kehutanan (22%), dan 1
kasus pada wilayah tambak atau pesisir (1%).
Jumlah konflik terbanyak diduduki Provinsi Jawa Timur dengan
36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12
kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, Lampung 5
kasus, dan sisanya tersebar di sebagian besar Provinsi di Indonesia. Itu baru
data yang tercatat. Sedangkan yang tidak tercatat kemungkinan lebih besar lagi.
Akankah persoalan di atas dibiarkan berlarut-larut? Tentu
semua itu perlu diakhiri dengan satu pedoman yang menjadi kesepakatan kita
berbangsa, yaitu apa pun perundang-undangan yang mengatur sumber daya alam,
termasuk tanah, mesti merujuk ke Pasal 33 UUD 1945. Dan semoga, Mahkamah
Konstitusi tidak segan-segan mencabut apa pun perundang-undangan yang
bertentangan dengan itu. Tulisan: Marlin Dinamikanto (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar