Filsuf Eropa, Lord Acton (1934-1902) jauh-jauh hari mengingatkan “power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely”. Adagium itu diyakini benar oleh sejumlah kalangan
ketika itu sebagai penyebab kusamnya kekuasaan Orde Baru yang kental dengan
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu pula muncul
gerakan reformasi.
Ternyata pula, di balik gerakan yang sejatinya bermaksud mengubah kondisi
bangsa ini ke arah yang lebih baik, bebas dari praktek KKN, ditunggangi oleh
beragam kepentingan, termasuk fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.
Fundamentalisme agama menyulut konflik kekerasan di Poso, Ambon dan maraknya
kasus terorisme. Sedangkan fundamentalisme pasar terlihat dari praktik
kebijakan ekonomi yang menjurus ke arah liberalisasi, deregulasi dan privatisasi.
Kedua kecenderungan itu sudah pasti bertentangan dengan amanah konstitusi.
Gerakan reformasi yang sejatinya bertujuan baik itu dijadikan kuda troya bagi
masuknya kepentingan asing ke berbagai sektor ekonomi strategis. Maka
terjadilah liberalisasi hampir di semua sektor, termasuk perdagangan, finansial
dan pengelolaan sumber daya alam.
Tidak aneh pula bila hingga 14 tahun perjalanan reformasi, elite politik
yang ada telah gagal meyakinkan bangsa ini untuk bergerak ke arah yang lebih
baik. Alih-alih terjadi perubahan nasib, angka kemiskinan dan pengangguran
sepertinya jalan di tempat. Informalisasi tenaga kerja yang sebenarnya sebagai
wujud kegagalan negara dalam memberikan lapangan kerja, meluas. Konflik sosial
terjadi dimana-mana. Maka muncul pertanyaan dari sejumlah kalangan di luar
kekuasaan, mau dibawa kemana Indonesia?
Setelah gagap di awal-awal reformasi, para elite yang sebagian dilahirkan
dari rahim gerakan reformasi, sekarang sibuk menebalkan bedak pencitraannya
lewat iklan di berbagai media massa. Ternyata pula tidak sedikit di antaranya
menikmati peran barunya sebagai komprador (calo/penghubung) kepentingan asing
di sini. Sejak itu pula diciptakan istilah-istilah gagah seperti market friendly, iklim investasi dan
sejenisnya yang sejatinya hanya untuk mendukung peran barunya sebagai komprador
bangsa asing.
Sistem demokrasi yang menyediakan ruang terbuka bagi kompetisi antara para
elit yang mempunyai kapital kuat, kemudian malah mengundang semakin banyak
aktor internasional ikut masuk. Sebetulnya, masuknya aktor internasional dalam
mempengaruhi kebijakan Pemerintah telah terjadi semenjak awal-awal era Orde
Baru. Hanya saja, di masa reformasi intervensi internasional atas kebijakan itu
berlangsung secara terbuka dan masif. Khususnya terkait keharusan Indonesia
mengikuti arahan-arahan IMF melalui Letter
of Intent (LoI), dan berbagai sarana lain, seperti program-program
kebijakan reformasi yang ditawarkan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB),
dan sebagainya.
Intervensi rezim internasional yang begitu kuat dan luas disinyalir
merupakan akibat pudarnya rasa percaya diri para elite, rendahnya komitmen
terhadap konstitusi negara, dan pola hubungan yang cenderung menggantungkan
diri kepada pihak asing, dalam hal ini kepada negara-negara maju, terutama
terkait pendanaan.
Maka tak dapat dihindari, pasca reformasi penguasaan
asing semakin menggurita, tak terkecuali pada sektor sumber daya alam (SDA),
yang memang sudah menjadi incaran sejak lama.
Sektor Migas
Campur tangan asing terlihat mencolok misalnya dalam reformasi sektor
energi, khususnya migas. Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, sangat
berkepentingan dengan migas Indonesia. Kenapa? Sebagai negara industri, migas
merupakan energi penting untuk menggerakkan sektor industri di negara adidaya
itu. Oleh karenanya, sejak revolusi industri di Inggris, bagi banyak negara di
dunia, migas menjadi faktor penting dalam melakukan bargaining politik dengan negara lain di dunia, khususnya dengan
negara-negara industri.
RUU Migas baru terlahir di era reformasi, dan banyak dipengaruhi oleh LoI
dengan IMF yang terbit antara 1998-2001. Maklum, saat krisis 1998 Pemerintah
Orde Baru meminta bantuan IMF. IMF memberikan bantuan kepada Indonesia dengan
memberi pinjaman untuk pemulihan krisis ekonomi. Namun di balik itu, IMF punya
agenda, yaitu mendesak pemerintah untuk membuat RUU Migas guna mereformasi
harga energi dan reformasi lembaga pengelolaan energi, termasuk mereduksi peran
monopolistik BUMN Pertamina.
Pertamina yang semula terintegrasi dari hulu ke hilir, kini diposisikan
sebagai BUMN yang tidak memiliki power
seperti sebelumnya. Pemerintah yang didorong IMF menginginkan liberalisasi
sektor migas dengan membuka keran seluas-luasnya bagi investasi swasta, baik
lokal maupun asing.
Di masa Presiden BJ Habibie, RUU Migas baru ini sempat mengalami penolakan
dari DPR. RUU ini kemudian diajukan kembali pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu, yang mengajukan adalah Menteri
Pertambangan dan Energi, Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah berhasil
meyakinkan DPR untuk membahasnya. Pada era Megawati, RUU Migas disahkan menjadi
UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Isi UU Migas sangat liberal, kerena mengusung
norma-norma neoliberal sebagaimana disyaratkan IMF dalam dokumen-dokumen perjanjian
sebelumnya. Norma-norma itu di antaranya divestasi, deregulasi, kompetisi, equal treatment (antara BUMN dan
perusahaan asing), dan penyerahan harga pada mekanisme pasar.
Tabel LoI dengan IMF yang mendasari
terbitnya UU Migas
Tanggal LoI
|
Tentang
|
|
11 September
1998
|
Menekan
Pemerintah untuk melakukan sejumlah kebijakan, seperti divestasi BUMN
|
|
19 Oktober 1998
|
Membiarkan
pergerakan modal lintas batas untuk menciptakan kepercayaan pasar
Pemerintah tidak
membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan memberi kebebasan ekspor
bagi mereka
|
|
13 November 1998
|
Rencana
privatisasi 150 BUMN selama satu dekade ke depan, mulai sektor
telekomunikasi, listrik, energi, dan penerbangan.
Pemberian
otonomi bagi pengelolaan perusahaan, peningkatan kompetisi, pengetatan
anggaran, dan penghapusan akses keistimewaan kredit bank
|
|
20 Januari 2000
|
Sektor
ketenagalistrikan: merestrukturisasi PLN, menetapkan UU Ketenagalistrikan,
membentuk badan pengatur independen, dan menetapkan kebijakan tarif
progresif. Aturan-aturan dibentuk dengan tujuan mengundang investasi swasta
dan memperbaiki efesiensi.
Sektor migas:
merevisi dan memodernkan UU Energi, mereformasi dan merestrukturisasi
Pertamina, meyakinkan agar aturan-aturan fiskal mengenai eksplorasi dan
produksi tetap kompetitif secara internasional, menyelaraskan harga produk
domestik dengan tingkat harga internasional, dan membuat kerangka kebijakan
yang sehat untuk mendukung penggunaan energi secara hemat di dalam
negeri.
|
|
1 Mei 2000
|
Refromasi dan
strukturisasi kebijakan harga energi jangka menengah.
Audit khusus
dengan bantuan sejumlah BUMN dalam rangka program restrukturisasi tersebut
|
|
31 Juli 2000
|
Komitmen untuk
melakukan sejumlah kebijakan khusus di sektor energi dengan mempercepat
privatisasi dengan segera menyiapkan perangkat hukum bagi
perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ini.
|
|
13 Desember 2001
|
Komitmen
melakukan penyesuaian harga bahan bakar dengan harga pasar dunia
|
|
Sumber: Buku
Kudeta Putih (Syamsul Hadi dkk:2012)
UU Migas kemudian lahir mewakili kepentingan asing dalam penguasaan sektor
migas di Indonesia. Pertamina yang pada era Orde Baru memang penuh dengan
korupsi, dijadikan alasan oleh DPR untuk “mengebiri” perusahaan nasional ini.
Pertamina yang merupakan representasi dari kedaulatan nasional bukannya
diperbaiki malah “dihukum” dengan lahirnya UU Migas itu.
Lalu apa yang terjadi? Perusahaan swasta, khususnya
asing dengan leluasa masuk ke sektor migas di bumi Indonesia. Melalui UU Migas
baru ini, Pertamina dipaksa bersaing dengan perusahaan lain, khususnya asing,
untuk mendapat kontrak wilayah eksploitasi migas di negerinya sendiri.
Sektor Pertanian
Selain migas, liberalisasi juga terjadi pada sektor pertanian.
Negara-negara maju memang amat berkepentingan dalam sektor ini. Wajar, sebab
ketahanan pangan suatu negara ditentukan oleh produksi pertaniannya. Sementara,
pangan merupakan kebutuhan dasar umat manusia, sehingga akan menjadi masalah
krusial jika ketersediaannya tak dapat terpenuhi.
Liberalisasi sektor pertanian menimbulkan dampak kesenjangan antara negara
maju dan berkembang, serta peningkatan kemiskinan petani. Produk domestik dan
ketahanan pangan di negara-negara miskin dan berkembang pun, pada akhirnya
terancam, seperti yang terjadi di negara kita.
Kelimpahan bahan pangan di suatu negara bisa menjadi bargaining politik suatu negara terhadap negara lain. Oleh sebab
itu, isu liberalisasi komoditas pertanian merupakan isu yang krusial bagi
negara agraris yang tidak mampu menolak impor komoditas-komoditas pertanian
yang seharusnya mampu dihasilkan di negeri sendiri, seperti Indonesia.
Sejak disepakati perjanjian perdagangan sektor multilateral di sektor
pertanian yakni Agreement on Agriculture (AoA) pada tahun 1994, sejumlah
negara, termasuk Indonesia, menyesuaikan kebijakan-kebijakannya. Di antaranya,
perluasan akses pasar produk untuk pertanian melalui, pengurangan tarif, dan
ratifikasi non tarif, pengurangan subsidi ekspor, dan penurunan subsidi
domestik (domestic support).
Negara-negara maju menginginkan agar negara berkembang mengurangi atau
bahkan mencabut subsidinya di sektor pertanian, dengan begitu akan memperlemah
petani negara tersebut dan merusak sektor pertanian mereka sehingga secara
perlahan produk-produk negara maju akan memasuki negara kecil. Hal ini persis
seperti yang terjadi di Indonesia.
Sejak tahun 1998 hingga sekarang, Indonesia menjadi negara pengimpor bahan
pangan terbesar di dunia, padahal pada pertengahan 1980-an Indonesia sempat
swasembada beras. Pada periode 1998-2000, sebagai negara agraris Indonesia
menjadi net importer bahan pangan rata-rata USD 863 juta per tahunnya.
Pertanyaan besar muncul. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya jelas,
liberalisasi yang digagas Bank Dunia, IMF, dan WTO sebagai penyebabnya.
Kekuatan asing secara terang-terangan dan masif mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam sektor pertanian melalui deregulasi dan sebagainya.
Persaingan bebas antara negara kaya dengan negara miskin terjadi semakin
nyata. Hasilnya, pasti sudah bisa ditebak, siapa yang akan menang dan kalah.
Yang menang akan menindas dan yang kalah akan tertindas terus menerus.
Liberalisasi sektor pertanian ditandai dengan dikebirinya Badan Urusan
Logistik (Bulog) yang merupakan BUMN di bidang pertanian. Bulog yang memiliki
peran sentral dalam menciptakan ketahanan pangan nasional selama Orde Baru,
harus kehilangan peran ketika statusnya sebagai State Tranding Enterprise (STE)
dicabut pada 1998 setelah adanya kesepakatan dengan IMF.
Bulog tidak lagi memonopoli komoditas-komoditas strategis dalam sektor
pertanian, seperti beras, gula, kedelai, gandum, jagung dan minyak goreng. Apa
yang terjadi? Sektor swasta baik lokal maupun asing, kemudian ramai-ramai masuk
mengambil alih penyediaan komoditas-komoditas pertanian tersebut.
Namun, semakin besar kekuatan swasta di sektor pertanian justru
menciptakan kerentanan terhadap kedaulatan pangan di Indonesia. Swasta hanya
berorientasi “mencari untung”, padahal pertanian bersentuhan langsung dengan
hajat hidup orang banyak.
Mereka lebih memilih menjual hasil pertanian ke pasar luar negeri daripada
di Indonesia, jika itu dianggap lebih menguntungkan. Akibatnya, walaupun
produksi pangan di Indonesia cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
tapi Pemerintah tetap saja harus melakukan kebijakan impor, karena sebagian
besar hasil pangan dari para pelaku swasta justru diekspor ke luar negeri.
Kondisi ini diperparah lagi dengan kebijakan yang cenderung berpihak pada
kapitalisme dan neoliberalisme. Sebut saja UU No. 25/2007 tentang penanaman
modal yang isinya meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan
agrarian. UU tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang
fokus program ekonomi 2008-2009, termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan
skala luas yang membuka jalan privatisasi dan monopoli sektor pangan menjadi
semakin terbuka.
Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam membuat kebijakan
hanya dititikberatkan pada asas ekonomi semata. Nilai-nilai keadilan dan
kelestarian lingkungan tidak begitu diperhatikan. Akibatnya, kesejahteraan
masyarakat pun menjadi nomor sekian. Liberalisasi sektor pertanian juga
berdampak langsung kepada petani. Ia ibarat mesin pembunuh yang membuat para
petani tidak berdaulat atas dirinya sendiri.
Dari Konflik Sosial Hingga Disintegrasi
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat
menimbulkan banyak masalah sosial dan politik. Konflik terjadi antarkelompok
masyarakat, baik dipicu kecemburuan ekonomi, perebutan lahan sebagai sumber
mata pencaharian, hingga konflik politik yang memicu isu disintegrasi.
Faktanya, sejumlah daerah yang rawan konflik di Indonesia
ternyata merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, sebut saja Aceh dan
Papua. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam membuat masyarakat setempat
tidak ikut menikmati kekayaan alamnya karena tidak dikelola oleh Negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Irosnisnya lagi, “perampokan” kekayaan alam
itu terjadi setiap hari di depan mata kepala mereka sendiri, dan mereka tidak
mampu berbuat apa-apa karena Negara mengizinkannya.
Hingga tahun 2012 menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi), ada sekitar 7.000 kasus sengketa lahan antara perusahaan
perkebunan atau pertambangan dengan warga terjadi di Indonesia. Catatatan itu
adalah jumlah yang terdaftar. Kejadian yang sebenarnya tentu lebih banyak.
Selama Januari-Juli 2012, Walhi mencatat 23 korban meninggal
terkena tembakan. Dalam dua minggu saja di bulan Juli 2012 bisa terjadi 4 kasus
sengketa lahan di berbagai daerah, yaitu di Ogan Ilir (Sumatera Selatan),
Donggala (Sulawesi Tengah), Sumba (NTT), dan Tapanuli Selatan.
Konflik sejatinya dipicu oleh ketidakadilan. Oleh karena itu,
selama kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lebih menguntungkan pihak asing
dibanding masyarakat sendiri, maka konflik tidak akan pernah selesai, bahkan
semakin mengancam keutuhan bangsa.
Kekecewaan rakyat akan semakin mendalam bersamaan dengan
semakin terangnya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia ternyata banyak terjadi
di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, namun asing mengelolanya. Jika
di biarkan, bukan tidak mungkin kasus Timor-Timur akan terulang lagi di belahan
bumi Indonesia.
Data Kemiskinan di Wilayah Tambang
Kabupaten Bengkalis
Tahun 2010 jumlah
penduduk di Kabupaten yang banyak memiliki tambang emas ini sebesar 498.335
jiwa. Meski tingkat kemiskinan di kabupaten ini tergolong rendah bila dibanding
kabupaten/kota lain di Provinsi Riau, namun secara absolut jumlah penduduk
miskin selalu meningkat. Tahun 2010 penduduk miskin mencapai 325.485 jiwa.
Kabupaten Kutai Timur
Meski secara prosentase
penduduk miskin relatif mengalami penurunan di kabupaten kaya sumber daya alam
migas ini, namun secara absolute jumlah penduduk miskin selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Pada 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 29.200
jiwa di kabupaten berpenduduk 253.847 jiwa ini.
Kutai Kertanegara
Kutai Kertanegara
adalah kabupaten yang kaya akan hasil tambang, khususnya migas. Namun,
kemiskinan masih menjadi persoalan di kabupaten ini. Hal tersebut terlihat dari
data BPS selama 5 tahun terakhir, angka kemiskinan Kukar dari tahun 2007-2009
terus mengalami penurunan dari 12,59% hingga
8.03%. Namun, tahun 2010 terjadi peningkatan secara jumlah jiwa dan
persentase menjadi 54.700 jiwa atau 8,69%.
Kabupaten Minahasa
Minahasa juga merupakan
wilayah yang kaya hasil tambang. Pada tahun 2011 Pemda Kabupaten Minahasa
berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 7.93%. Baik dari segi penurunan
absolut maupun presentase, keduanya mengalami penurunan pada tahun 2011. Namun,
jika melihat segi kesejarahan, tingkat kemiskinan Kabupaten Minahasa bergerak
fluktuatif secara absolut. Pada 2007 angka kemiskinan di minahasa mencapai
10.31%, sementara tahun 2008 sebesar 9%. Di tahun 2009, angka kemiskian turun
menjadi 8.47% atau 25.700 jiwa, namun di tahun 2010 angka kemiskinan kembali
naik menjadi 9% atau 27.700 jiwa dari jumlah penduduk 309.878 jiwa.
Provinsi Papua
Jumlah penduduk
Provinsi Papua sekitar 2.833.381 jiwa. Provinsi ini menjadi provinsi termiskin
dari tahun ke tahun dengan tingkat kemiskinan di atas 30%. Pada 2011, tingkat
kemiskinan di tanah penghasil emas itu sebesar 31,98% dengan jumlah penduduk
miskin sebesar 944.790 jiwa. Meski secara persentase kemiskinan menurun, tetapi
secara absolut jumlah penduduk miskin bertambah dari tahun sebelumnya.
Tahun 2007 tingkat
kemiskinan Provinsi Papua mencapai 40,78%
atau 793.400 jiwa, sementara tahun 2008 menjadi 37,08% atau 733.100
jiwa. Tahun 2009 kemiskinan meningkat menjadi 37.01% atau 760.300 jiwa dan
terus meningkat menjadi 760.600 jiwa, namun presentasi menurun menjadi 36,80%.
Kabupaten Sumbawa
Jumlah penduduk miskin
di Kabupaten Sumbawa cenderung mengalami penurunan, namun tingkat kemiskinan
kabupaten ini dari tahun 2007 hingga 2010 tetap berada di atas tingkat
kemiskinan provinsi dan nasional.
Tahun 2007 tingkat
kemiskinan Kabupaten Sumbawa sebesar 28,78% atau 122.012 jiwa. Tahun 2008 turun
menjadi 25,31% atau 109.632 jiwa, sementara tahun 2010 menjadi 104.980 jiwa
atau 23,85%. Tahun 2010 kembali terjadi
penurunan menjadi sebesar 21,75% atau 90.400 jiwa dari 415.789 jiwa.
Artinya, tingkat penurunan
angka kemiskinan, itu pun data BPS yang metodologinya diubah-ubah dan
disesuaikan dengan selera penguasa, tidak sebanding dengan kekayaan alam yang
dikuras. Kalau kekayaan alam itu sudah habis, kegiatan ekonomi yang kucuran
uang beredarnya tidak seberapa itu, seperti halnya kota Lhokseumawe, Aceh, juga
pasti berakhir. Apa kondisi itu juga diperhitungkan oleh para komprador yang
duduk sebagai pengambil kebijakan?
Itulah sebabnya, tidak
sedikit kalangan yang menyambut baik dicabutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang
yang ditengarai disusupi oleh kepentingan asing oleh mahkamah konstitusi.
Sebab, sebagus apapun proposal yang ditawarkan pihak asing, berdasarkan
data-data di atas, cukup menjelaskan tidak membawa manfaat apapun bagi
kemakmuran rakyat Indonesia, selain hanya menggendutkan kekayaan para komprador
di bumi pertiwi ini.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar