Macetnya kaderisasi di tubuh partai politik membuat Indonesia saat ini
dihadapkan pada krisis kepemimpinan. Parpol yang semestinya menjadi “kawah
candradimuka” bagi lahirnya pemimpin bangsa, tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Parpol tidak lagi mampu melahirkan pemimpin sesuai harapan rakyat.
Bahkan, kini yang tampak tidak lebih seperti kumpulan para bandit yang haus
akan kekuasaan.
Sejatinya, fungsi parpol sebagaimana digambarkan ilmuwan politik Indonesia
Miriam Budihardjo, setidaknya mencakup empat fungsi. Yaitu sebagai sarana
komunikasi politik, sarana sosialisasi politik (political
socialization), sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan
sebagai pengatur konflik (conflict management).
Senada dengan
itu, dua profesor ilmu politik Yves Meny dan Andrew Knapp juga menyebut
bahwa fungsi parpol meliputi empat fungsi, yaitu mobilisasi dan integrasi,
sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), sarana
rekrutmen politik, dan sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik disebutkan, fungsi partai politik adalah sebagai sarana
pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, penciptaan iklim yang
kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat,
partisipasi politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen politik.
Terkait fungsinya sebagai sarana
rekrutmen politik, maka parpol merupakan kendaraan yang sah untuk menyeleksi
kader-kader pemimpin melalui mekanisme demokrasi. Sebagai sarana agregasi
kepentingan yang berbeda-beda, parpol berupaya mengintegrasikan kepentingan
yang beragam itu guna mempengaruhi
kebijakan-kebijakan politik kenegaraan maupun mencari sosok pemimpin yang bisa
diterima semua golongan.
Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin
Muhtadi mengatakan, parpol sebagai instrumen penting demokrasi menjadi tumpuan
penting bagi kemunculan capres, caleg, cagub, dan jabatan lain yang strategis.
Sayangnya, kata dia, selama tiga pemilu pascareformasi, Indonesia dihadapkan
pada kenyataan, parpol sebagai sumber utama lahirnya pemimpin justru mengalami
kemacetan luar biasa.
Demokrasi yang baik, salah satunya ditandai oleh parpol yang
sehat. Namun selama ini, alih-alih parpol melahirkan pimpinan yang mumpuni,
para kader parpol malah banyak terlibat korupsi. Parpol besar yang seyogyanya
mampu menelorkan pemimpin muda, tidak mampu memenuhi tuntutan konstituennya,
bahkan cenderung berkhianat. Jangankan menyodorkan kandidat pemimpin, mengurusi
persoalan internal partai saja para kader parpol tidak becus.
Parpol banyak terjebak persoalan internal yang melibatkan
para kader tak berintegritas. Bagi-bagi kekuasaan lebih banyak mewarnai
dibanding membangun partai yang kuat, bersih dan dipercaya publik. Rekrutmen
kader partai akhirnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga wajar jika
kemudian calon-calon pemimpin yang disodorkan hanya orang yang itu-itu saja,
alias muka-muka lama.
Pengamat Politik UI Ikrar Nusa Bakti menilai, demokrasi
Indonesia secara riil baru berjalan selama 12 tahun. Proses politik memang
masih terus bergulir. “Yang harus kita perjuangkan, jangan sampai depolitisasi
berlangsung kembali sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Karena itu, saya
tidak sepakat dengan calon presiden independen, partai politik sebagai soko
guru demokrasi perlu dibantu untuk menjadi matang,” ujar Ikrar. Tentu, walau bagaimanapun kita tidak boleh mundur lagi ke masa lalu. Demokrasi
harus terus dikawal agar menjadi matang, dan parpol berfungsi sebagaimana
mestinya.
Survei yang dilakukan oleh
sejumlah lembaga survei dan penelitian belakangan ini, terutama tentang
pemimpin Indonesia masa depan, menunjukkan betapa rendahnya kepercayaan rakyat
terhadap parpol. Rekrutmen kader parpol dipandang sebelah mata. Akibatnya,
banyak kader parpol kurang bisa menunjukkan perilaku yang sesuai dengan harapan
masyarakat. Masyarakat pun banyak menaruh harapan kepada tokoh-tokoh yang
justru berada di luar lingkaran partai politik.
Kualitas Personal Tokoh Alternatif
Menurut Opinion Leader
|
|
Nama
|
Skor (0-100)
|
Mahfud MD
|
79
|
Dahlan Iskan
|
76
|
Sri Mulyani Indrawati
|
71
|
Hidayat Nurwahid
|
71
|
Agus Martowardoyo
|
68
|
Djoko Suyanto
|
67
|
Gita Wiryawan
|
66
|
Chairul Tanjung
|
66
|
Endriartono Sutanto
|
66
|
Surya Paloh
|
64
|
Pramono Edhie Wibowo
|
64
|
Sukarwo
|
63
|
Puan Maharani
|
61
|
Kristiani Herawati Yudhoyono
|
60
|
Sumber: Survei LSI, November 2012
Hasil survei di atas,
kendati belum mencerminkan pendapat masyarakat secara keseluruhan karena yang
disurvei hanya kalangan tertentu saja, tetapi cukup membuktikan bahwa
orang-orang di luar parpol justru mendapat tempat untuk dipercaya sebagai tokoh
alternatif memimpin bangsa ke depan.
Pentingnya Sistem Rekrutmen
Sistem rekrutmen dalam parpol dianggap
penting karena parpol adalah infrastruktur politik yang seharusnya memproduksi
elite politik. Mestinya, elite yang muncul dari luar partai politik
dipertanyakan kapabilitas kepemimpinannya.
Untuk itulah, rekrutmen kader parpol
perlu dilakukan secara elegan dan transparan. Menyaring kader partai potensial
yang memiliki kredibilitas, mengakar, lebih mengedepankan “kita”, bukan “aku”,
serta memiliki wawasan kebangsaan.
Memang, Suzanne Keller (1995:87) dalam
teorinya menyebut bahwa berkembangnya golongan elite politik disebabkan oleh
empat proses sosial utama, yakni pertumbuhan penduduk, pertumbuhan spesialisasi
jabatan, pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi, dan perkembangan
keragaman moral.
Dengan berjalannya keempat proses itu,
kaum elite akhirnya menjadi semakin banyak, semakin beraneka ragam, dan lebih
bersifat otonom.
Teori itu ingin menegaskan bahwa
kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat telah menyebar sedemikian rupa
sehingga menuntut partai politik lebih terbuka terhadap tokoh-tokoh yang berada
di luar lingkaran parpol.
Hal itu ada benarnya, sebab di
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, di mana tradisi kepartaian belum
berjalan kuat, rekrutmen kader parpol seringkali dilakukan hanya dalam beberapa
kelompok tertentu saja. Dan biasanya berlangsung dengan pola-pola patronase.
Pola ini sebenarnya mengulang sistem peninggalan rezim Orba yang melegalkan
politik transaksional. Akhirnya terjadilah korupsi dan penyuapan atas nama
kursi jabatan.
Pola kedekatan dengan sang patron
dianggap sebagai pola yang lazim dilakukan dalam rekrutmen politik. Maka tak
heran, jika rekrutmen kader parpol di Indonesia menjadi kurang berkembang,
karena praktek-praktek semacam itu, nampak atau tidak nampak masih berjalan.
Sementara itu, politik di Indonesia
mengalami perkembangan yang amat pesat sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Pasca
reformasi masyarakat semakin melek politik. Sayangnya, perubahan-perubahan
politik tersebut belum diiringi perubahan kultur politik di dalam parpol,
sehingga perubahan perilaku politik dan etika berpolitik tidak berkembang ke
arah lebih baik.
Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Akbar Tanjung
berpendapat, tradisi rekrutmen guna menjaring dan memunculkan calon pemimpin
bangsa harus terus dilakukan. Sebab, bangsa Indonesia sangat membutuhkan
pemimpin yang kredibel dan mengakar pada Pemilihan Presiden 2014 nanti.
Itulah sebabnya, mantan aktivis HMI ini pernah membuka sistem
konvensi untuk menjaring capres dan cawapres di masa dia menjadi Ketua Umum
Partai Golkar. Dan terbukti, Akbar sebagai ketua umum ketika itu harus rela
melepas jatah capres kepada Wiranto, karena hasil konvensi menetapkan seperti
itu. Padahal ketika itu, Wiranto terhitung tokoh di luar Partai Golkar.
Fenomena ini, di satu sisi menunjukkan bahwa parpol semakin demokratis bahkan
amat demokratis, namun di sisi lain bisa dilihat sebagai kegagalan parpol memproduksi
kadernya kepemimpinannya.
Namun demikian, Akbar mengingatkan, ketika Indonesia sudah
dua kali memilih presiden secara langsung, maka masa transisi politik sudah
dilewati. Saat ini Indonesia telah masuk pada tahap konsolidasi demokrasi. Maka
penting bagi parpol untuk menyiapkan pemimpin yang kuat, yang memiliki basis
dukungan masyarakat. Karena bagaimanapun lahirnya sosok pemimpin secara
konstitusional pada gilirannya adalah harus melalui parpol.
Memang partai politik harus terus melakukan inovasi untuk
melakukan rekrutmen kadernya, sesuai dengan perkembangan politik dewasa ini.
Namun, bukan berarti mengorbankan idealisme dan tujuan perjuangan partai itu
sendiri.
Partai Golkar misalnya, sebagai partai yang sudah melewati
beragam pergolakan politik, dan tentu amat berpengalaman dalam sistem
kaderisasi, belakangan ini menyediakan 10 persen slot khusus untuk diisi para
caleg dari luar partai.
Sepuluh persen itu dari total caleg Golkar sama dengan 56
caleg. Namun demikian, ada syarat khusus yang ditetapkan bagi orang luar Golkar
untuk menjadi caleg dari partai itu, yaitu dia harus populer dan bisa menjaring
suara rakyat. Ketua Umum diberi hak prerogatif guna menentukan 10 persen caleg
Golkar dari luar itu. Ini memang hal baru di Partai Golkar, sebab selama ini
partai tersebut mensyaratkan seseorang sudah berkiprah minimal lima tahun di
Golkar jika dia ingin maju menjadi caleg.
Hal yang sama juga dilakukan PDI-P. Dalam menjaring calon
anggota legislatif yang akan bertarung di Pemilu 2014, PDI-P Jawa Timur mencoba
melakukan terobosan yang terbilang baru. Sebanyak 700 orang pengurus Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) dan anggota Fraksi PDI-P DPRD kabupaten dan kota se-Jawa
Timur diwajibkan mengikuti psikotes.
Langkah ini, menurut Wakil Sekretaris DPD PDI-P Jawa Timur
Nugroho, dimaksudkan untuk mengukur
kemampuan, kepribadian, juga intelegensi bakal caleg. Psikotes
diperlukan agar partai tidak salah memilih orang untuk diproyeksikan menjadi
anggota Dewan. Sesuai pengalaman masa lalu, banyak penempatan kader partai di
Komisi yang tidak pas. Misalnya, kader yang memilki kapasitas di bidang teknik
ditempatkan untuk mengurusi bidang pertanian.
Banyaknya jumlah parpol memang tidak
menjamin akan lahir banyak kader pemimpin yang baik dan berkarakter, jika
sistem yang berlaku di parpol masih buruk, korup, dan tidak transparan.
Apalagi, sejumlah masalah yang menyangkut integritas seperti korupsi dan
perbuatan asusila justru banyak melibatkan para politisi muda yang seharusnya
bisa diandalkan.
Apalagi, menurut Ketua Umum Aliansi
Rakyat Untuk Perubahan, Rizal Ramli, fungsi parpol saat ini tak ubahnya taksi
sewaan, yang menentukan tarif sebelum seseorang diantar sampai ke tempat
tujuan. Untuk menjadi caleg hingga capres tergantung dari jumlah uang yang
dimilikinya. Maka jangan heran jika kemudian parpol bisa menyodorkan pemimpin
yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Pengamat politik CSIS J Kristiadi
mengibaratkan parpol sekarang ini seperti besi bengkok yang tidak lurus dalam
memberi pendidikan politik kepada masyarakat, juga dalam mencetak kader
pemimpin. Parpol sudah kehilangan “roh” atau ideologi untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat. Hasilnya adalah para pemimpin yang tidak dapat mewujudkan
harapan rakyat. Jika tidak segera membenahi diri, ke depan parpol hanya akan menjadi
kapal karam, sebuah kendaraan politik yang tanpa pergerakan dan tanpa
penumpang.
Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar