Kemandirian adalah soal kebijakan APBN
Anggaran berimbang bisa terjadi jika kebijakan APBN
ditetapkan pengeluaran akan sama besarnya dengan pendapatan, atau dengan kata
lain, bukan defisit seperti selama ini.
Kita tahu itu maunya IMF, World Bank, dan ADB agar
kita tetap tergantung dengan utang luar negeri yang saat ini mencapai Rp 3.000
triliun (swasta 52%, negara 48%) atau 30% dari PDB Indonesia. Seharusnya utang
luar negeri ditetapkan dengan UU/APBN, bukan inisiatif pemerintah semata. Utang
dijadikan alat kontrol untuk kebijakan strategis negara pengutang. Hampir tidak
mungkin kebijakan pro-rakyat yang menjadi prioritas jika diadu dengan kebijakan
pro-pasar. Lihat saja setelah Soeharto, kebijakan swasembada pangan dan
mensubsidi sembako via Bulog. AS dan IMF begitu bersemangat untuk kebijakan
APBN anti subsidi pangan maupun BBM. Bahkan lebih menyarankan safety net pola
charity (BLSM). Dari segi cash flow versi korporasi memang itu tidak
sehat, tapi dari segi keuangan negara, subsidi adalah sarana mensejahterakan
rakyat, namun harus tepat sasaran.
Momentum untuk kemandirian sudah di depan mata dengan
kontribusi pajak hampir 71% (pada tahun 2014) Rp 1.300 triliun dan Rp 1.500
triliun (79%) dari RAPBN 2015 pemasukan negara yang mencapai Rp 1.912 triliun.
Jika dengan PNBP Rp 419 triliun di tahun 2015 (21%), seharusnya pengeluaran
APBN ini menjadi PR utama sektor keuangan JW, yang pasti jika tidak mencapai Rp
2.115 triliun. Namun kebijakan APBN selalu defisit, oleh karena itu tetap
berutang. Jika mashab keuangannya berbau neolib, pasti akan membenarkan
rutinitas seperti ini dan tidak akan ada perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar