Banyaknya gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap produk
undang-undang pasca reformasi mengindikasikan adanya upaya
inkonstitusionalisasi legislasi untuk kepentingan tertentu. Sejumlah pihak
menuding rezim internasional berada di balik upaya tersebut. Tujuannya tak
lain, yaitu penguasaan sektor-sektor tertentu untuk kepentingan ekonomi mereka.
Dari data MK, UU yang diuji materikan
terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2011 ada 64 UU yang diuji oleh MK,
lebih banyak dari tahun sebelumnya (2010) yang hanya 58 UU. Sementara untuk
tahun 2012, dari bulan Januari-Oktober tercatat 52 UU diuji materikan.
Di antara UU yang diuji materi MK diduga
memuat kepentingan asing terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Sebut
saja misalnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No 22/2001 tentang
Minyak dan Gas (Migas), UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan banyak lagi.
UU tersebut adalah sedikit dari produk
perundang-undangan yang dihasilkan Pemerintah dan DPR yang dimohonkan untuk
diuji di MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan, UU
Ketenagalistrikan dan tiga pasal dalam UU Migas telah divonis bertentangan
dengan konstitusi.
Jika dilihat satu persatu isi
undang-undang yang diujikan itu, jelas menunjukkan betapa Pemerintahan pasca reformasi ini berusaha melakukan
liberalisasi sektor-sektor ekonomi dan sumber daya alam secara masif di
Indonesia. Parahnya, diketahui bahwa penyusunan UU tersebut melibatkan
lembaga-lembaga donor dan pemberi pinjaman seperti USAID, Bank Dunia, ADB, dan
IMF.
Keberpihakan Pemerintah terhadap liberalisasi juga terlihat dalam setiap
persidangan uji materi di MK. Pemerintah dan para ahlinya selalu berargumentasi
bahwa arah pembangunan perekonomian nasional harus disesuaikan dengan dinamika
global.
Dinamika dimaksud yaitu peraturan
perdagangan internasional lewat WTO, keterlibatan lembaga-lembaga keuangan
multilateral dalam perekonomian global, serta dokumen-dokumen perjanjian global
antarnegara. Pemerintah meyakini bahwa globalisasi merupakan tuntutan zaman
yang tidak tidak perlu dihindari.
Pemerintah pun pada akhirnya menganggap
bahwa cabang-cabang produksi yang dianggap penting dan strategis untuk melayani
hajat hidup orang banyak, seperti migas dan mineral, tidak mengapa mengikuti
skema pasar kendati cara pandang itu sangat merugikan rakyat banyak.
Dengan demikian
kita bisa menarik kesimpulan, skema rezim internasional untuk menguasai
kekayaan alam negara berkembang seperti Indonesia melalui legislasi dapat
dikatakan berhasil dilakukan.
Skema Penguasaan
Deregulasi UU sumber daya alam tidak
terlepas dari skema rezim internasional yang memaksa negara-negara berkembang
menandatangani dokumen-dokumen ratifikasi dari tingkat regional hingga global.
Indonesia termasuk negara yang aktif menandatangani berbagai perjanjian, baik
di bidang investasi maupun perdagangan di berbagai tingkatan.
Pemerintah Indonesia telah
menandatangani sejumlah perjanjian untuk memfasilitasi kepentingan rezim
global. Di level internasional, pemerintah telah menandatangani pendirian WTO
dan selanjutnya meratifikasi pendirian itu melalui UU No.7/1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization.
Di level regional pemerintah
meratifikasi Asean Charter melalui UU No. 38/2008. Pada tingkat ASEAN dengan
negara sesama anggota ASEAN, kemudian ASEAN + 3 (China, Jepang, Korea Selatan),
dan ASEAN + China, ASEAN + Jepang, ASEAN + Korea Selatan, ASEAN + India, ASEAN + Australia, dan ASEAN +
Selandia Baru.
Di level bilateral, pemerintah juga
telah menandatangani berbagai Free Trade Area (FTA) seperti Indonesia dengan
Jepang melalui IJEPA dan Indonesia-Uni Eropa melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
Selain itu, rezim internasional juga
masuk ke Indonesia dengan difasilitasi perjanjian investasi yang disebut
Billateral Invesment Treaty (BIT). Sampai saat ini setidaknya telah 67 dokumen
BIT ditandatangani, selebihnya sedang dalam proses negosiasi, joint study group, dan tahapan lainnya.
BIT berisi skema perlindungan tingkat
tinggi bagi investor, fasilitas, dan berbagai insentif di bidang perpajakan.
Melalui BIT Pemerintah diwajibkan memberi perlakuan yang sama antara
investor nasional, BUMN, dengan perusahaan asing. Bahkan, batas kepemilikan
asing terhadap perusahaan nasional ditiadakan, dilarang melakukan nasionalisasi
perusahaan asing tanpa kompensasi, memberikan jaminan asuransi kerugian atas
resiko investasi asing, dan sejumlah mekanisme penyelesaian melalui arbitrase
internasional.
BIT menjadi cara rezim internasional
mengatur Indonesia dengan alasan globalisasi. Dengan cara ini pihak asing dapat
mengontrol investasi mereka di negeri ini, bahkan lebih jauh mengontrol
ekonominya. Mereka juga dapat menggugat Indonesia melalui arbitrase
internasional yang mereka ciptakan
sendiri sebagai instrumen untuk memberikan sanksi dan pelanggaran
terhadap rezim internasional.
Melihat gambaran ini memang wajar jika
kemudian UU yang dibuat oleh pemerintah Indonesia merupakan turunan dari
kesepakatan-kesepakatan yang telah Pemerintah tandatangani. Kendati UU yang
lahir kemudian berlawanan dengan UUD 1945, Pemerintah akan
habis-habisan mempertahankan argumentasi bahwa UU tersebut lahir di tengah
tuntutan globalisasi yang tidak terhindarkan. Padahal, bukankah dengan begitu
berarti kita telah kalah secara strategi dengan rezim asing, dan terpaksa
bertekuk lutut di ketiak mereka? Sampai kapan?
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar