Kita masih ingat ketika JK menjadi Wakil Presiden
2004, dan awal 2005 menjadi Ketua Umum Partai Golkar periode 2005–2009.
Sepertinya hal ini akan berulang. Manuver Ical sebagai Ketua Umum ke koalisi
Prabowo–Hatta, jelas menyakiti grass root
partai berlambang pohon Beringin ini. Marwah partai berlambang pohon Beringin
sebagai pemilik suara hampir 15% tidak dapat dijaga oleh Ical. Seharusnya
sebagai partai kedua terbesar harus maju ke pilpres, karena bendera partai
harus berkibar, apapun bayarannya. Ical yang secara psikologis sudah hancur
mentalnya karena sampai Pileg 2014 elektabilitasnya tidak pernah di atas 8%.
Padahal dia berjanji akan all-out
jika elektabilitasnya mencapai 15%. Konon keluarga dan kawan-kawan di Bakrie
juga akan all-out jika mecapai angka
tersebut. Tapi hasilnya jauh panggang dari api. Jadi sebagai pengusaha, Ical
memilih tidak maju karena pasti gagal.
Kesalahan
utama Ical adalah paradigmanya sebagai bos korporasi berpikir korporatif. Padahal
organisasi politik itu tidak matematis kelayakannya. Kedua, secara struktural, Ical hanya menguasai Partai Golkar sampai
dengan DPD I, sementara DPD II lebih hormat kepada Akbar Tandjung dan JK.
Sehingga saat Pileg mesin partai tidak optimal. Ketiga, orang dekat (ring-1)
Ical tidak mumpuni kapasitasnya, dan tercatat sebagai orang-orang baru. Keempat, pola rekrut dominan dari
Hipmi, sehingga kino-kino seperti MKGR, Kosgoro, dan SOKSI, begitu juga dengan
FKPPI, AMPG, dan ormas Islam Golkar, berkesan Ical sangat eksklusif dan tidak
akomodatif, bahkan lebih ekstrim dianggap tidak paham budaya politik Partai
Golkar. Kelima, rongrongan Dewan
Pertimbangan Akbar Tandjung ke kabinet Ical, karena dianggap tidak profesional
dalam menjalankan roda organisasi, ikut memperkeruh situasi di internal Partai
Golkar. Tercatat ada faksi JK, Akbar Tandjung, dan Ical. Anehnya di saat
Pilpres, kubu Jenderal Kuningan pimpinan Luhut Panjaitan yang selama ini loyal
ke Ical (dan menjadi seteru Akbar Tandjung di Dewan Pertimbangan), berbelok mendukung
penuh Jokowi. Bahkan anehnya, Akbar Tandjung justru mendukung Prabowo. Ini
ironisnya politik, semua bisa terjadi di era transaksional ini. Believe it or not.
Keenam, Ical
sebagai Ketua Umum Partai Golkar membuat blunder
dengan memecat 3 kader utama dan beberapa kader daerah. Mengapa blunder? Karena ketiga kader ini
mempunyai basis massa yang cukup besar. Seperti Nusron Wahid, selain kader
Golkar, juga Ketua Umum PB Anshor, merupakan salah satu yang mempunyai jumlah
massa cukup besar di struktural NU. Dengan pemecatan ini tentunya dukungan
terhadap yang bersangkutan semakin solid di internal Anshor. Agus Gumiwang
Kartasasmita, adalah putra dari Ginandjar Kartasasmita, yang kita ketahui
sebagai tokoh utama Pasundan. Lalu, Poempida Hidayatulloh, merupakan menantu
Fahmi Idris – tokoh senior Golkar. Dengan pemecatan ketiga kader tersebut di
atas, tentu sangat menguntungkan secara psikologis kubu Jokowi–JK, sekaligus
menambah peluang kemenangan Jokowi–JK dalam Pilpres 2014.
Dari enam kelemahan mendasar Ical, dapat
dipastikan setelah habis “pengaruhnya” (pasca Munas), di Partai Golkar tinggal
Akbar Tandjung dan JK?. Jika Akbar Tandjung dengan usia hampir 70 tahun dan
peluang berkuasa terbatas, terlihat JK lebih berpeluang berkuasa, karena suatu
keharusan mutlak menguasai Partai Golkar.
Jika Jokowi–JK terpilih, dapat dipastikan JK akan
all-out menguasai Partai Golkar. Jika
tidak, akan problem di Senayan (DPR) dalam setiap pengambilan keputusan
strategis. Pengamanan Senayan agenda terbesar Jokowi–JK pasca pemenangan.
Lalu siapa
kandidat paling berpeluang?
Disinyalir ada Fadel Muhammad, M.S. Hidayat, dan
Agung Laksono. Kalau kedekatan psikologis Fadel Muhammad (dekat dengan Ical),
M.S. Hidayat (dekat dengan Akbar Tandjung), Agung Laksono lebih ke JK. Secara
politis, JK akan pilih Agung Laksono yang secara karakter lebih fleksibel dan
diterima oleh semua kalangan. Kita tahu Partai Golkar di bawah Soeharto selama
32 tahun berkuasa dan era reformasi selalu di pusat kekuasaan. Sangat sulit
bagi Partai Golkar untuk mandiri, karena tidak percaya diri dan dicap
masyarakat sebagai simbol Orde Baru. Mungkin itu juga yang menjadi alasan Ical
(selain kasus Lapindo) dan kecewa dengan sikap Megawati Soekarnoputri yang
tidak mau bargaining mengenai koalisi
Partai Golkar ke PDIP.
Dapat disimpulkan, Partai Golkar kembali menjadi
milik JK karena faktor power dan madu
kekuasaan termasuk kekuatan finansial dari JK jika jadi wapres 2014–2019.
Lalu jika Jokowi–JK
menang, terjadi perubahan politik yang signifikan???
Sepertinya
yang menang tetap AS dan sekutunya melalui IMF (strategis) dan multinational corporations yang
menguasai aset Indonesia. Kalau terjadi perubahan politik, berarti terjadi
revolusi alias putus pengaruh AS via IMF dengan Stop Berutang!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar