Sebagai negara yang memiliki posisi strategis di Asia
Tenggara, wajar jika Indonesia menjadi sasaran bagi negara-negara maju,
khususnya Amerika Serikat, untuk menanamkan pengaruhnya. Indonesia merupakan
negara terbesar di antara negara-negara yang terhimpun dalam forum ASEAN.
Lebih-lebih, Asia Tenggara di tahun-tahun ke depan diperkirakan akan menjadi
“medan pertempuran” yang cukup sengit bagi dua negara terbesar di dunia saat
ini, Amerika Vs Cina.
Tak heran, jika kemudian strategi rezim global dalam menguasai kepentingan di Indonesia pun semakin nyata. Bahkan sejumlah negara maju menjadikan Indonesia sebagai prioritas utama penguasaannya melalui berbagai macam skema.
Siapa tak kenal lembaga bernama International Monetary Fund (IMF). Lembaga ini secara agresif menjerat negara-negara sasaran dalam jaring sistem liberal. IMF punya senjata “mematikan” bernama Letter of Intent (LoI).
LoI menjadi salah satu pintu masuk bagi rezim global untuk menanamkan kekuasaannya di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. LoI adalah dokumen yang menjelaskan berbagai program dan kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah suatu negara dalam konteks permintaan bantuan keuangan dari IMF. Jika program-program LoI disepakati, barulah dana bantuan untuk negara pemohon dikucurkan.
Tak heran, jika kemudian strategi rezim global dalam menguasai kepentingan di Indonesia pun semakin nyata. Bahkan sejumlah negara maju menjadikan Indonesia sebagai prioritas utama penguasaannya melalui berbagai macam skema.
Siapa tak kenal lembaga bernama International Monetary Fund (IMF). Lembaga ini secara agresif menjerat negara-negara sasaran dalam jaring sistem liberal. IMF punya senjata “mematikan” bernama Letter of Intent (LoI).
LoI menjadi salah satu pintu masuk bagi rezim global untuk menanamkan kekuasaannya di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. LoI adalah dokumen yang menjelaskan berbagai program dan kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah suatu negara dalam konteks permintaan bantuan keuangan dari IMF. Jika program-program LoI disepakati, barulah dana bantuan untuk negara pemohon dikucurkan.
Siapa tak tergiur dengan kucuran bantuan itu, di saat negara
memang membutuhkannya akibat terdampak krisis global, yang bisa jadi sengaja
diciptakan.
IMF berperan besar dalam perubahan struktur ekonomi
Indonesia, terutama dalam hal liberalisasi investasi di masa reformasi. Melalui
penerbitan LoI sejak tahun 1997 hingga 1999, IMF membuat berbagai persyaratan kepada
pemerintah Indonesia untuk melakukan restrkturisasi makroekonomi dengan
berbagai kebijakan yang mengarah pada pasar bebas.
Beberapa poin disyaratkan IMF kepada Indonesia agar dapat
menerima bantuan dari lembaga internasional itu. Misalnya, soal akan
diperluasnya aktivitas dan sektor yang terbuka bagi investor asing seperti
sektor perdagangan retail. Lalu investor asing akan secara fair diberikan kesempatan berinvestasi dalam sektor minyak kelapa
sawit.
Poin lain misalnya, pada September 1997 ada komitmen bahwa
aturan mengenai batas 49% kepemilikan asing dalam perusahaan go public akan dihapus.
Pada LoI yang diterbitkan 10 April 1998 ditegaskan kembali
komitmen pemerintah Indonesia untuk menjalankan Memorandun of Economic and Financial Policies (MEFP). Pemerintah
menandatanganinya pada 15 januari 1998. Poin penting dalam pembahasan LoI ini
adalah bagaimana menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan
grosir.
Kemudian Pemerintah pun menunjukkan komitmennya, yaitu dengan
mengajukan amandemen UU Perbankan pada akhir Juni 1998. Komitmen tersebut untuk
mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah. Dalam
rancangan amandemen tersebut batas kepemilikan swasta akan dihapus sehingga
pihak swasta dapat menguasai secara penuh bank pemerintah. Partner asing
diminta untuk menarik investor swasta lain agar mau berpartisipasi, dan
konyolnya jadwal privatisasi ini dikonsultasikan dengan IMF dan Bank Dunia.
Pemerintah juga berkomitmen akan memberikan perlakuan yang adil bagi investor asing yang berinvestasi di sektor perbankan. Sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia di WTO, Pemerintah akan mengurangi hambatan bagi bank asing untuk membuka cabang di Indonesia menjelang Februari 1998. Selain itu, pemerintah juga menyerahkan rancangan UU untuk menghapus hambatan kepemilikan asing di beberapa bank yang terdaftar di BEJ menjelang Juni 1998.
Selain itu, percepatan program privatisasi dengan pengawasan oleh Kementerian Keuangan dan Dewan Privatisasi. Kerangka aturan bagi privatisasi akan dibuat sedemikian rupa untuk menjalankan privatisasi secara penuh bagi semua perusahaan negara.
Tidak lama setelah LoI pertama dibuat, LoI kedua pun diterbitkan, tepatnya pada 29 Juli 1998. Dengan terbitnya LoI ini pemerintah berkomitmen agar aturan-aturan investasi asing disederhanakan dan dipermudah. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir.
LoI berikutnya terbit pada 11 September 1998. Ada tiga poin penting terkait investasi. Yaitu menghapus batasan kepemilikan asing dalam bank pemerintah; mencabut subsidi pada produk terigu, gula, bawang putih, dan kedelai; memberikan izin bagi investasi asing di sektor perdagangan ritel dan grosir; mencabut disinsentif pajak bagi kegiatan merger dan restrukturisasi perusahaan.
Tidak lama kemudian LoI terbit lagi pada 19 Oktober 1998. Pemerintah menambah aspek baru dalam komitmen dengan IMF, di antaranya Pemerintah akan tetap membiarkan pergerakan modal lintas batas untuk menciptakan kepercayaan pasar. Selain itu, Pemerintah tidak akan membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan juga memberikan kebebasan ekspor bagi mereka.
Sejumlah LoI terus diterbitkan hingga 18 Maret 2003, yang intinya memberikan keleluasaan kepada pihak asing untuk menanamkan investasi di Indonesia.
Pemerintah juga berkomitmen akan memberikan perlakuan yang adil bagi investor asing yang berinvestasi di sektor perbankan. Sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia di WTO, Pemerintah akan mengurangi hambatan bagi bank asing untuk membuka cabang di Indonesia menjelang Februari 1998. Selain itu, pemerintah juga menyerahkan rancangan UU untuk menghapus hambatan kepemilikan asing di beberapa bank yang terdaftar di BEJ menjelang Juni 1998.
Selain itu, percepatan program privatisasi dengan pengawasan oleh Kementerian Keuangan dan Dewan Privatisasi. Kerangka aturan bagi privatisasi akan dibuat sedemikian rupa untuk menjalankan privatisasi secara penuh bagi semua perusahaan negara.
Tidak lama setelah LoI pertama dibuat, LoI kedua pun diterbitkan, tepatnya pada 29 Juli 1998. Dengan terbitnya LoI ini pemerintah berkomitmen agar aturan-aturan investasi asing disederhanakan dan dipermudah. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir.
LoI berikutnya terbit pada 11 September 1998. Ada tiga poin penting terkait investasi. Yaitu menghapus batasan kepemilikan asing dalam bank pemerintah; mencabut subsidi pada produk terigu, gula, bawang putih, dan kedelai; memberikan izin bagi investasi asing di sektor perdagangan ritel dan grosir; mencabut disinsentif pajak bagi kegiatan merger dan restrukturisasi perusahaan.
Tidak lama kemudian LoI terbit lagi pada 19 Oktober 1998. Pemerintah menambah aspek baru dalam komitmen dengan IMF, di antaranya Pemerintah akan tetap membiarkan pergerakan modal lintas batas untuk menciptakan kepercayaan pasar. Selain itu, Pemerintah tidak akan membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan juga memberikan kebebasan ekspor bagi mereka.
Sejumlah LoI terus diterbitkan hingga 18 Maret 2003, yang intinya memberikan keleluasaan kepada pihak asing untuk menanamkan investasi di Indonesia.
Kontribusi Aktor Internasional dalam Regulasi Penanaman Modal
Undang-Undang
|
Kontribusi Aktor Internasional
|
||
Aktor
|
Program/Aturan
|
Saran/Implementasi
|
|
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
|
WHO
|
MFN, National
Treatment, dan Transparansi
|
Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam
modal baik
dalam negeri maupun
asing.
|
IMF
|
LoI 30-10-1997
|
Aktivitas dan sektor yang terbuka bagi investor asing
akan diperluas.
|
|
LoI 10-04-1998
|
Menghapus hambatan investasi asing sektor perdagangan
grosir.
Mendukung program privatisasi penuh
atas semua bank pemerintah.
Memberikan perlakuan yang adil bagi investor asing yang
berinvestasi di sektor perbankan.
|
||
LoI 29-07-1998
|
Pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan
investasi asing akan disederhanakan dan dipermudah
|
||
LoI 11-09-1998
|
Menghapus batas kepemilikan asing dalam bank pemerintah.
Mencabut subsidi produk terigu, gula,
bawang putih dan kedelai.
Memberi izin bagi investor asing di
sektor perdagangan ritel dan grosir.
Mencabut disinsentif pajak bagi kegiatan merger dan
restrukturalisasi perusahaan.
|
||
LoI 19-10-1998
|
Pemerintah tetap membiarkan pergerakan modal lintas batas
untuk menciptakan kepercayaan pasar.
Pemerintah tidak membatasi repartriasi capital bagi investor
asing dan memberi kebebasan ekspor bagi mereka.
|
||
LoI 13-11-1998
|
Memfokuskan pada isu rencana privatisasi.
|
||
LoI 16-03-1999
|
Investor-investor asing strategis diperbolehkan
memengang kendali atas manajemen perusahaan, bahkan di perusahan di mana saham
mereka di bawah 49%.
|
||
LoI 14-05-1999
|
Tidak membatasi investasi asing dan memperbolehkan
investor asing untuk menguasai saham mayoritas perusahaan.
|
||
LoI 17-05- 2000
|
Pemerintah berkomitmen melakukan privatisasi terhadap
sejumlah BUMN.
|
||
LoI 31-07- 2000
|
Pemerintah memperbaharui master plan bagi program privatisasi untuk tahun 2000-2002.
|
||
LoI 07-09-2000
|
Pemerintah mempercepat privatisasi sektor telekomunikasi
dan energi.
|
||
LoI 18-03- 2003
|
Pemerintah akan memperluas lingkup sektor ekonomi yang
terbuka bagi investor asing.
Mempertegas kembali komitmen-komitmen
pemerintah yang telah dibahas dalam LoI 31 Juli 2000.
Memperbaiki iklim investasi melalui reformasi hukum dan
struktural.
|
||
ADB
|
ADB program
Number: 39605 Loan Number: 2228 Indonesia Development Policy Support Programm
(SPSO)
|
Pemerintah mengambil langkah spesifik untuk memperkuat
iklim investasi termasuk di dalamnya menyusun dan finalisasi hukum investasi.
Perlu realiasi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
Prioritas reformasi mencakup upaya memperbaiki iklim
investasi, memperkuat manajemen keuangan publik dan pemerintah, serta
meningkatkan pengurangan kemiskinan dan akses terhadap pelayanan publik.
|
|
ADB Project
Number: 31644 Loan Number: 1738 Indonesia: Industrial Competitiveness and Small
an Medium Enterprise Development Program
|
Salah satu output pelaksanaan program adalah dukungan
terhadap investasi melalui penguatan kebijakan investasi domestik dan PMA.
|
||
Bank
Dunia
|
Development
Policy Loan edisi ketiga tahun 2006
|
Mengawal
UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 agar dapat diterapkan dengan seksama di
Indonesia,
UU Penanaman Modal (Investment
law) merupakan salah satu instrument krusial untuk semakin meningkatkan
iklim investasi di Indonesia.
|
|
Development
Policy Loan edisi kelima
|
Mendorong pembentukan Perpres 111 2007 sebagai aturan
tambahan atas UU No. 25 Tahun 2007.
Perpres ini
bertujuan restrukturisasi daftar negative investasi (DNI) sekaligus
mempercepat proses transaksi dalam mekanisme investasi.
|
Sumber : Kudeta Putih, Syamsul Hadi dkk, 2012
Melalui IMF, dan
tentu juga “antek-antek”-nya yang ada di Indonesia penerapan
neoliberalisme berjalan dengan mulus. Meskipun cara mereka menggunakan akal
bulus, yaitu: jebakan utang.
Seorang penulis buku Confessions of An Economic Hit Man, John Perkins menceritakan bagaimana pinjaman utang yang diberikan IMF kepada negara-negara ketiga itu mencekik leher negara penerima pinjaman. Setelah negara penerima bertekuk lutut, negara kreditur pun dapat dengan leluasa memaksakan kebijakan yang dikehendakinya.
Masih ingat tahun 1997? Saat itu Indonesia terperosok demikian dalam ke dalam krisis ekonomi. Lalu IMF datang menawarkan pinjaman. Dalam waktu singkat Indonesia masuk jebakan. Sejak itu lah negeri ini dipaksa menjalankan resep-resep neoliberal besutan IMF. Lalu belakangan, baru kita sadar bahwa semua kebijakan IMF membawa malapetaka bagi rakyat Indonesia.
Salah satu tanda yang paling mudah dilihat dari neoliberalisme adalah supremasi pasar dan korporasi terhadap negara. Negara, dalam kondisi ini hanya berfungsi sebagai alat atau fasilitas bagi akumulasi keuntungan segelintir elite atau korporasi. Sementara suara rakyat yang dimintakan lewat sistem Pemilu tak lebih hanya untuk melegitimasi berjalannya administrasi neoliberal itu.
Hal ini telah sangat nyata terjadi di Indonesia. Neoliberalisme sangat aktif melakukan depolitisasi suara rakyat. Akibatnya, meski ada proses Pemilu, tetap saja proses pengambilan keputusan sejatinya berpusat di tangan segelintir elite.
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) cukup menjelaskan fenomena itu. Menurut survei tersebut, hanya 12,8 persen rakyat Indonesia yang mengaku bisa mempengaruhi pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan. Mayoritas masyarakat merasa pendapatnya dikesampingkan.
Selain fakta-fakta tadi, yang paling berbahaya adalah saat rezim nasional sangat tergantung dengan kekuatan kapitalisme global. Hal ini kemudian mendorong transfer kekuasaan politik ke tangan para pemodal. Akibatnya, para bankir, spekulan, investor, dan lembaga keuangan makin punya kekusaan tak terbatas. IMF, Bank Dunia, dan WTO, kemudian mengambil peran dominan dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik bangsa ini. Kekuasaan mereka bahkan bisa melampaui kekuasaan Parlemen.
Seorang penulis buku Confessions of An Economic Hit Man, John Perkins menceritakan bagaimana pinjaman utang yang diberikan IMF kepada negara-negara ketiga itu mencekik leher negara penerima pinjaman. Setelah negara penerima bertekuk lutut, negara kreditur pun dapat dengan leluasa memaksakan kebijakan yang dikehendakinya.
Masih ingat tahun 1997? Saat itu Indonesia terperosok demikian dalam ke dalam krisis ekonomi. Lalu IMF datang menawarkan pinjaman. Dalam waktu singkat Indonesia masuk jebakan. Sejak itu lah negeri ini dipaksa menjalankan resep-resep neoliberal besutan IMF. Lalu belakangan, baru kita sadar bahwa semua kebijakan IMF membawa malapetaka bagi rakyat Indonesia.
Salah satu tanda yang paling mudah dilihat dari neoliberalisme adalah supremasi pasar dan korporasi terhadap negara. Negara, dalam kondisi ini hanya berfungsi sebagai alat atau fasilitas bagi akumulasi keuntungan segelintir elite atau korporasi. Sementara suara rakyat yang dimintakan lewat sistem Pemilu tak lebih hanya untuk melegitimasi berjalannya administrasi neoliberal itu.
Hal ini telah sangat nyata terjadi di Indonesia. Neoliberalisme sangat aktif melakukan depolitisasi suara rakyat. Akibatnya, meski ada proses Pemilu, tetap saja proses pengambilan keputusan sejatinya berpusat di tangan segelintir elite.
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) cukup menjelaskan fenomena itu. Menurut survei tersebut, hanya 12,8 persen rakyat Indonesia yang mengaku bisa mempengaruhi pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan. Mayoritas masyarakat merasa pendapatnya dikesampingkan.
Selain fakta-fakta tadi, yang paling berbahaya adalah saat rezim nasional sangat tergantung dengan kekuatan kapitalisme global. Hal ini kemudian mendorong transfer kekuasaan politik ke tangan para pemodal. Akibatnya, para bankir, spekulan, investor, dan lembaga keuangan makin punya kekusaan tak terbatas. IMF, Bank Dunia, dan WTO, kemudian mengambil peran dominan dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik bangsa ini. Kekuasaan mereka bahkan bisa melampaui kekuasaan Parlemen.
Jebakan Lain Bernama WTO
Sebelum IMF masuk ke Indonesia, negeri ini sebetulnya sudah
masuk jerat liberalisasi, yaitu dengan bergabung dengan World Trade
Organization (WTO). Indonesia meratifikasi perjanjian pembentukan organisasi
tersebut pada 2 November 1994 melalui UU No. 7 Tahun 1994.
Melalui WTO Indonesia tidak saja melakukan liberalisasi sistem perdagangan, tetapi juga mengambil sejumlah langkah penting untuk mengurangi proteksi. Pemerintah ketika itu, tidak hanya mendukung liberalisasi perdagangan seperti menurunkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif perdagangan, tapi juga melakukan reformasi dengan menetapkan pengurangan pajak, tarif, dan pembatasan kuantitatif pada ekspor dan impor.
Implementasi aturan-aturan WTO juga dapat dilihat dari UU Nomor 25 Tahun 2007, dalam pasal 3 disebutkan bahwa pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Asas ini sama dengan prinsip The Most Favored Nation (MFN) dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Trade-Related Investment Measures (TRIMs) dalam GATT/WTO menganut prinsip ini. Prinsip keterbukaan juga sama dengan prinsip yang dianut GATT/WTO seperti MFN, National Treatment, dan transparansi.
Melalui WTO Indonesia tidak saja melakukan liberalisasi sistem perdagangan, tetapi juga mengambil sejumlah langkah penting untuk mengurangi proteksi. Pemerintah ketika itu, tidak hanya mendukung liberalisasi perdagangan seperti menurunkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif perdagangan, tapi juga melakukan reformasi dengan menetapkan pengurangan pajak, tarif, dan pembatasan kuantitatif pada ekspor dan impor.
Implementasi aturan-aturan WTO juga dapat dilihat dari UU Nomor 25 Tahun 2007, dalam pasal 3 disebutkan bahwa pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Asas ini sama dengan prinsip The Most Favored Nation (MFN) dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Trade-Related Investment Measures (TRIMs) dalam GATT/WTO menganut prinsip ini. Prinsip keterbukaan juga sama dengan prinsip yang dianut GATT/WTO seperti MFN, National Treatment, dan transparansi.
Kontribusi Aktor Internasional dalam
Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan
Undang-Undang
|
Kontribusi Aktor Internasional
|
||
Aktor
|
Program/Aturan
|
Saran/Implementasi
|
|
UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
UU
No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 1999
|
WHO
|
GATS
(General Agreement on Tariff and Trade)
|
Semua pembatasan akses pasar dan national treatment dalam sektor perbankan akan dihapuskan pada
tahun 2020
Kepemilikan perusahaan keuangan bukan bank yang tercatat
dalam bursa saham, boleh dimiliki oleh investor asing hingga 100%.
Pembatasan perlakukan nasional (national treatmen) dalam hal perpajakan yang dikenakan komitmen
horizontal tidak berlaku pada sektor perbankan.
|
AFAS
(ASEAN Agreement on Service)
|
Keterbatasan akses pasar dan perlakuan nasional yang
ditentukan dihilangkan pada tahun 2010.
Bank asing atau badan hukum asing yang bekerja sama dengan Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
diperbolehkan untuk menetapkan dan memperoleh locally incorporated banks with existing regulations.
Kantor cabang bank asing dan bank usaha patungan dapat
membuka kantor di ibukota provinsi sesuai dengan kebutuhan).
Akuisisi bank lokal melalui pembelian
saham di bursa saham diperbolehkan hingga 49% dari saham yang tercatat,
tetapi memungkinkan kepemilikan 99% setelah disetujui Pemerintah.
|
||
IMF
|
Memorandum
on Economic and Financial Policiees (MEFP) 15 Januari, 10 April dan 25 Juni
1998
|
Menghilangkan keseluruhan pembatasan kepemilikan modal oleh
pihak asing.
Menghilangkan pembatasan pembukaan kantor cabang bank asing.
Menghilangkan pembatasan kepemilikan asing pada bank yang
tercatat di Bursa Efek Jakarta.
Menghilangkan semua pembatasan pemberian pinjaman oleh
bank, kecuali untuk alasan prudensial atau dalam rangka
mendukung koperasi atau pengusaha kecil.
Menjamin simpanan masyarakat yang ada di bank nasional.
Mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Melakukan merger bank-bank pemerintah.
Mendirikan skema asuransi deposito.
|
|
UU
No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
|
IMF
|
LoI
tanggal 13 Desember 2001
|
Pemerintah akan membuat timeable yang jelas bagi
pembentukan OJK
|
ADB
|
TA
3620-INO2 (Development of a Financial
Services Supervisory Institution) dan TA3850-INO (Establishment of a Finacial Services Authority)
Loan
1965-INO mengenai program Financial
Governance and Social security Reform (FGSSR)
|
Memberikan dukungan teknis yang berkesinambungan dan
penting untuk pemerintah dalam membuat desain yang kompleks mengenai implementasi OJK.
Mendukung finalisasi dari paket pinjaman DPL yang di dalamnya mensyaratkan percepatan realisasi UU OJK.
|
|
UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
|
ADB
|
Financial Governance and
Social Security Reform Program I (FGSSRP-I) dibangun
atas pinjaman 1618-INO: Financial
Governance Reform: Sector Development Program (FGRSDP)
Technical Assistance (TA) 4024-INO tentang Financial
Governance an Social Security Reform
Project Number : 42461
Policy and Advisory Technical Assistance, Desember
2008
|
Mendukung kerangka kerja yang luas dalam memperkuat sektor
keuangan dan sistem jaminan sosial.
Memperkuat sektor keuangan pemerintah dan sistem jaminan
sosial dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan ekonomidan mengurangi
kerentanan terhadap krisis.
ADB memberi bantuan untuk mengembangkan konsep desain
sistem jaminan sosial.
|
Bank
Dunia
|
Development Policy Loan (DPL) edisi keenam dan DPL edisi
ketujuh.
|
Pemerintah segera mempercepat realisasi UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
|
Sumber : Kudeta Putih, Syamsul Hadi dkk, 2012
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar