Selama 45 tahun Freeport
bercokol di bumi Papua tidak memberikan manfaat apapun, baik bagi masyarakat
Papua (lihat Ironi Papua) maupun Indonesia. Maka, berdasarkan data-data di
bawah ini, cukup alasan bagi pemerintah Indonesia mengambil alih Freeport untuk
kemakmuran masyarakat Papua khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Kontrak Karya (KK) yang
ditandatangani pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran sangat merugikan
kepentingan negara dan sangat mengganggu rasa keadilan. Penerimaan negara dari
royalti yang diberikan Freeport sangat kecil yakni hanya 1%. Selain menyumbang
penerimaan negara yang tidak signifikan, eksplorasi tambang Freeport telah
menimbulkan banyak implikasi yang luas di bumi Papua antara lain berbagai pelanggaran
hak adat sekitar, pencemaran lingkungan, hingga keamanan.
Pada 2010 (sampai Juni), Freeport Indonesia telah membayar
royalti sebesar 105 juta dolar AS. Total kontribusi mereka ke pemerintah
Indonesia selama 2010 sebesar 899 juta dolar AS yang terdiri dari pajak,
penghasilan, deviden dan royalti.
Secara total, dapat diringkaskan sebagai berikut:
Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah Kontrak Karya II ditandatangani)
kontribusi mereka mencapai 10,4 miliar dolar AS (royalti sebesar 1,1 miliar dolar
AS dan deviden sebesar 1 miliar dolar AS). Angka diatas sepertinya terlihat
besar. Total kontribusi hampir mencapai Rp 90 triliun. Namun jumlahnya,
sejatinya sangat kecil. Karena sebenarnya, kontribusi riil mereka adalah
deviden dan royalti yang nilainya hanya mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama
18 tahun).
Pada 2009, Freeport juga menjadi
penyumbang ketiga terbesar dari sisi deviden ke pemerintah Indonesia. Namun
sebagai pemegang saham 9,36% pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 triliun.
Sedangkan Freeport McMoran sebagai induk dari Freeport Indonesia (pemegang
saham 90,64%) mendapat deviden sekitar Rp 20 triliun. Bayangkan jika dikali
100%, penerimaan Freeport mencapai Rp 2000 triliun. Padahal pemerintah hanya
memperoleh pajak dan royalti 1%.
Kontribusi yang diberikan
Freeport jelas sangat tidak adil, karena tambang yang dikeruk dari bumi Papua
itu milik kita. Hasil tambang justru tidak dinikmati negara dan rakyatnya
sendiri, Pemerintah sebenarnya merasakan ketidakadilan ini, sehingga menuntut
adanya renegosiasi KK dengan Freeport.
Namun sejatinya, renegosiasi KK
bukanlah inti dari persoalan. Karena ibarat sungai, KK hanya hilirnya,
sedangkan hulunya adalah status kepemilikan perusahaan itu. Untuk membersihkan sungai kita harus memulai
dari hulunya karena mustahil sungai bisa terbebas dari kontaminasi jika hulunya
tidak dibersihkan terlebih dahulu.
Merenegosiasi KK bukan langkah
strategis karena ekses yang timbul dari KK hanya dampak (impact)
berantai yang ditimbulkan oleh masalah kepemilikan perusahaan, yang sebagian
besar sahamnya dikuasai oleh pihak asing. Oleh karena itu, kita seharusnya
melangkah lebih jauh (stepping forward), yaitu dengan mengambil-alih
kepemilikan atau menasionalisasi Freeport Indonesia. Nasionalisasi penting
dalam rangka menegakkan supremasi atas kepemilikan sumber daya alam strategis
sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.
Ada banyak alasan untuk
menasionalisasi Freeport selain karena kontribusi dari royalti yang sangat kecil. Pertama, Freeport nyata-nyata melawan Peraturan Pemerintah (PP) No.
24/2012 mengenai kewajiban mendivestasikan sahamnya ke pemerintah hingga 51%
dalam jangka waktu 20 tahun.
Kedua, KK yang dilakukan pemerintah pada 1967
dilakukan pada saat tatanan politik Indonesia sedang gamang karena baru terjadi
pergantian tampuk pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Persetujuan KK
diberikan oleh Soeharto yang mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dengan
menerbitkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Atas dasar UU inilah, pemerintah
kemudian menandatangani KK dengan Freeport Indonesia pada tahun 1967 dan
dilanjutkan pada 1991. UU 11/1967 adalah UU pertambangan yang sangat liberal
dan akomodatif terhadap kepentingan kapitalis asing. UU ini memberikan
kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah untuk mengambil tanah rakyat atas
nama konsesi pertambangan. UU tersebut telah diganti dengan UU No. 4/2009, dan
Freeport Indonesia hingga saat ini sama sekali tidak mematuhi ketentuan yang
disyaratkan dalam renegosiasi.
Ketiga, eksplorasi tambang yang dilakukan
Freeport Indonesia di bumi Cenderawasih telah menimbulkan banyak masalah mulai
dari berbagai persoalan lingkungan, pelanggaran hukum dan HAM maupun konflik
sosial yang terus berkecamuk.
Keempat, emas, tembaga, dan perak yang dieksploitasi oleh Freeport Indonesia
adalah komoditas strategis (strategic commodities) dan memiliki nilai
jual yang tinggi di pasar internasional. Komoditas strategis ini seharusnya
dikuasai negara, dan sesuai dengan amanat konstitusi, harus dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Tulisan: Gunawan Kusmantoro (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar