PR dan Harapan terhadap Jokowi-JK mengenai Undang-Undang Sumber Daya Alam:
Penjajahan di bumi Indonesia sejatinya masih belum berakhir, dan masih
terus berlangsung dengan beragam bentuknya hingga saat ini. Berbagai cara masih
dilakukan pihak asing untuk menanamkan kepentingannya di Indonesia. Tidak lain,
agar mereka terus menerus dapat mengeruk potensi dan kekayaan yang melimpah
dari negeri ini.
Banyak pintu masuk untuk memuluskan kepentingan asing di Indonesia, di
antaranya lewat Undang-Undang (UU). Oleh karena itu, UU sebagai peraturan
tertinggi di negeri ini tak luput dari sasaran. Di antara sekian banyak UU yang
menjadi sasaran penyusupan kepentingan asing adalah UU mengenai sumber daya
alam. Pasalnya, asing memang dari dulu sangat berkepentingan mengusai SDA
negeri yang terkenal kaya raya ini.
Masuknya intervensi asing ke dalam pembuatan UU terlihat begitu jelas
setelah pemerintah Indonesia menandatangani Letter
of Intent (LoI) dengan IMF pada tahun 1997. Dengan berbagai rasionalisasi,
banyak kepentingan pihak asing berhasil disusupkan melalui UU.
Sebut saja contohnya, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
UU yang sejumlah pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi ini, oleh
sejumlah kelompok masyarakat dinilai mengandung ‘bau’ kepentingan asing yang
sangat menyengat. UU yang pernah beberapa kali diuji materi oleh MK ini sangat
berpihak kepada kepentingan asing dan bertentangan dengan UUD 1945, terutama
Pasal 33.
Sejumlah kelompok masyarakat yang memohon uji materi UU Migas menilai UU
tersebut berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan merugikan keuangan
negara karena membuka liberalisasi pengelolaan migas yang memungkinkan
pengelolaan komoditas itu didominasi oleh perusahaan asing.
Salah satu pasal dalam UU Migas, yaitu Pasal 1 ayat (23) dan Pasal 4 ayat
(3) yang intinya menyebut bahwa pengelolaan migas diserahkan kepada Badan
Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai wakil pemerintah untuk menandatangani
kontrak-kontrak dengan para kontraktor.
Pengamat perminyakan Dr. Kurtubi yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli
di MK terkait judicial review UU
Migas menyatakan, di pasal ini Pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang
berkontrak. Artinya, status Pemerintah diturunkan, dan ini jelas mengakibatkan
kedaulatan Negara hilang dan akibatnya Negara sangat dirugikan. Oleh karena
itu, kata Kurtubi, UU migas melanggar konstitusi.
Selain pasal tadi, sejumlah pasal dalam UU Migas juga menyatakan bahwa
perusahaan migas harus dikelola secara terpisah antara bidang usaha hulu dan
hilir. Padahal UUD 1945 mengamanatkan penguasaan pengelolaan migas oleh negara,
artinya pengelolaan migas seharusnya terintegrasi antara hulu dan hilir.
Tabel Inkonstitusionalitas UU No 22/2001 tentang Migas
No
|
Pasal
|
Keterangan
|
1.
|
1 ayat (23) dan
(24) UU Migas jo. Pasal 44
|
Inkonstitusional,
karena adanya badan-badan yang melaksanakan dan mengatur migas secara
terpisah sehingga membuka kesempatan bagi investor dan pemodal asing untuk
mengelola dan menguras kekayaan alam Indonesia yang vital bagi masyarakat.
Bahwa dalam melaksanakan dan mengatur perminyakan dan gas Indonesia dari
usaha hulu ke usaha hilir adalah kewajiban Negara yang dilaksanakan oleh BUMN
(Pertamina) sebagai pelaksana dari Hak Menguasai Negara bidang pengelolaan.
|
2.
|
1 ayat (19) jo.
Pasal 6
|
Inkonstitusional,
karena adanya sistem Kontrak Kerja Sama yang terbuka kepada badan usaha
swasta, terlebih pihak asing, untuk mengelola dan mengambil keuntungan dari
kekayaan alam Indonesia, sehingga berpotensi terlanggarnya kedaulatan negara,
kedaulatan rakyat dan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
3.
|
Pasal 3 poin b
|
Konstitusional
sejauh dilakukan terlebih dahulu pemenuhan untuk kebutuhan masyarakat
Indonesia, bukan mendahulukan kepentingan migas untuk diperjualbelikan.
|
4.
|
Pasal 9 ayat (1)
|
Konstitusional
sejauh secara jelas menyatakan bahwa Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha
Hilir diilaksanakan dan dijamin oleh Negara apabila dengan tegas menyatakan
bahwa BUMN diberikan monopoli pengelolaan migas. Apabila ada badan usaha
swasta diberi ruang yang sangat besar maka bisa disebut UU Migas
inkonstitusional dan bertentangan dengan pasal 33 (2) UUD 1945.
|
5.
|
Pasal 10
|
Bertentangan
dengan pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945 karena untuk mewujudkan penguasaan
Negara terhadap kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka
pengelolaannya haruslah terpadu dan tidak membuka kesempatan kepada pihak
luar dari negara untuk mengelolanya demi kepentingan masyarakat. Kegiatan
hulu ke hilir adalah proses yang tak dapat dipisahkan demi mencapai tujuan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keberadaan BP
Migas dan BPH Migas perlu ditinjau ulang karena terbukti tidak mampu
melakukan pengawasan dan pengeloaan migas di Indonesia dan telah melakukan
pelanggaran pasal 33 yang tidak memberikan hak pengelolaan utama terhadap
BUMN (Pertamina) untuk mengelola migas di Indonesia.
|
6.
|
Pasal 28 ayat
(2)
|
Inkonstitusional,
karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar maka yang bermain di sini
adalah aspek ekonomi tanpa melihat kemakmuran rakyat, tetapi lebih
memperhatikan laba tertinggi dan akumulasi kapital perusahaan pertambangan
yang bermain dalam bisnis migasi. Harus ada kedaulatan Negara dalam
menentukan harga demi kesejahteraan rakyat. Harga untuk masyarakat adalah
harga yang benar-benar biaya yang dikeluarkan Negara dari hulu ke hilir
dibagi besaran produksi, sehingga tercapai harga ekonomis dalam negeri. Pasal
ini sudah
dibatalkan oleh
MK tapi tetap ada pelanggaran dalam UU APBNP khususnya pasal 7 ayat 6 A maka
perlu ditegaskan kalau UU Migas lex
specialis terhadap UU APBNP terkait pengaturan anggaran terkait migas.
|
7.
|
Pasal 63 poin c
dan Pasal 64
|
Inkonstitusional
karena kontrak-kontrak yang sedang melakukan pelanggaran terhadap konstitusi
tetap berlaku. Pasal ini membahayakan cadangan kekayaan alam Indonesia yang
vital, sementara kekayaan alam itu tetap disedot dan diambil oleh pihak luar
bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap azas pacta sunt servanda (kesucian
berkontrak). Perlu mendorong renegosiasi kontrak melalui Putusan MK.
|
Sumber: Indonesian Human Rights Committee for Social Justice
(IHCS), April 2012
Contoh di atas hanya sekelumit saja dari sekian banyak regulasi terkait
SDA yang mendapat intervensi asing. Direktur Eksekutif Institute of Global
Justice (IGJ) Salamuddin Daeng mengaku pernah melakukan penelitian serta
mengkaji berbagai dokumen mengenai sejumlah UU di Indonesia. Hasilnya sangat
mencengangkan, sebagian besar penyusunan dan pembuatan UU di Indonesia dibiayai
oleh pihak asing. Tentu bukan tanpa maksud jika asing membiayai pembuatan
undang-undang. Mereka punya kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
Dan hasilnya, pada ratusan UU yang kita miliki, terselip
kepentingan-kepentingan asing itu.
Ada tiga dokumen penting menurut Daeng, yang menjadi pintu masuk asing
dalam menguasai hampir semua lini kekayaan dan kedaulatan negeri ini, yaitu Letter Of Intent (LOI) IMF tahun
1997/1998, Dokumen World Bank, yaitu peluncuran pinjaman untuk mengubah atau
membuat kebijakan di Indonesia sesuai keinginan, dan ketiga, dokumen-dokumen
Asian Development Bank (ADB).
Sejak era reformasi ADB dan Word Bank berperan sangat aktif dalam proses
deregulasi di Indonesia, khususnya pada sektor SDA seperti migas dan
pertambangan. Selain SDA, sektor lain yang terkait juga menjadi incaran yaitu
sektor perbankan dan keuangan. Saking banyaknya UU yang inkonstitusional di
negara ini, upaya perubahan UU melalui jalur judicial review di MK pun menjadi tak cukup. Bertarung di MK untuk
satu undang-undang ibarat mengubah buih di tengah gelombang laut yang amat
besar.
Asing atau rezim internasional menanamkan kepentingannya di Indonesia
melalui jalur sektoral, yaitu lewat produk legislasi (UU), maupun jalur
regional yaitu lewat ratifikasi sejumlah dokumen. Sejak era reformasi produk UU
semakin tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, parahnya para pembuat undang-undang juga disinyalir tidak
memiliki ideologi dan orientasi nasionalisme yang kuat. Mereka mudah luluh dan
kemudian ‘disetir’ oleh logika-logika rezim internasional, yang tentu di balik
itu ada kuasa lain yang lebih dari sekadar menekan, yaitu tidak lain uang.
Pasca reformasi, perusahaan asing justru menjadi sangat masif menancapkan
kekuasaannya di negeri ini. Bayangkan, 75% bidang pertambangan kita dikuasai
asing, dimana 70%-nya merupakan perusahaan asal Amerika Serikat.
Pada tahun 2011 tercatat sekitar 8.000 izin kuasa pertambangan dikeluarkan
oleh pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa peluang asing menguasai
langsung sumber daya tambang khususnya batubara dan mineral semakin terbuka
lebar.
Perusahaan tambang asing, terutama China dan India, masuk menguasai
tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang
kesulitan pendanaan. Tanpa disadari, Indonesia sudah menjadi hulu sumber daya
bagi China dan India. Dua negara ini sangat agresif dalam mencari sumber daya
batubara sebagai pengganti minyak ke luar negeri, sementara cadangan migas dan
tambang di negerinya sendiri sengaja mereka simpan.
Di sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing juga
semakin dominan. Catatan Pemerintah pada tahun 2011, dari total 225 blok migas
yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok
dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan
nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan
lokal.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan
target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50% pada 2025. Saat
ini, porsi nasionalnya hanya baru sekitar 25%, sementara 75% dikuasai oleh asing.
Hal tersebut menandakan bahwa liberalisasi telah terjadi begitu dalam di
negeri ini, dan itu semua akibat dari perundang-undangan yang dibuat sejak
tahun 1999 hingga 2012 yang cenderung berpihak pada liberalisasi.
Amandemen UUD 1945 yang semula dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan
absolut presiden justru ditunggangi kepentingan-kepentingan asing untuk
mengubah pondasi pembangunan ekonomi negara ke arah liberalisasi. Dan terbukti,
kini liberalisasi telah menggerus sendi-sendi ekonomi kerakyatan yang sejatinya
merupakan konsep dari UUD kita.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar