Pemerintah Indonesia dinilai gagal
mengelola Sumber Daya Alam (SDA). Liberalisasi ekonomi berbuah ketimpangan,
penguasaan ekonomi dikuasai oleh
segeintir orang, dan banyak sumber-sumber penting tambang di kuasai perusahaan
multinasional. Produk undang-undang pengelolaan SDA tidak membuahkan hasil bagi
kesejahteraan rakyat, malah berbuah kemiskinan, kerusakan
lingkungan dan konflik di berbagai daerah.
Inilah ironi sebuah bangsa yang sudah
merdeka
dan memiliki SDA melimpah. Namun sejatinya kemerdekaan itu belum sepenuhnya dinikmati rakyat Indonesia, khususnya
menyangkut kedaulatan pengelolaan SDA. Sejak Undang-undang Penanaman Modal dikeluarkan tahun 1967, tidak terasa bangsa ini telah dijajah oleh perusahaan asing
di berbagai bidang usaha. Di sektor pertambangan dan migas, dominasi pemodal
asing mencapai sekitar 80%, bank
50%, industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal
berakibat terhadap besarnya aliran uang ke luar (net
transfer).
Hak sosial ekonomi pekerja, hasil eksploitasi SDA di daerah, dan
keuntungan BUMN dan perusahaan di Indonesia pun mengalir ke pemegang saham (shareholder)
asing. Belum lagi cicilan bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per
tahun dengan nilai seperempat APBN.
Struktur ekonomi pun menjadi timpang lantaran berbagai kebijakan
pemerintah lebih pro terhadap modal
asing. Parahnya, DPR justru diam-diam turut melegitimasinya.
Ketelanjuran penguasaan korporasi (asing) terhadap cabang produksi dan
aset-aset strategis bangsa yang jelas
melawan konstitusi justru dilegalisasi. UU PM telah dijadikan alat bagi
dominasi modal asing untuk menguasai bidang strategis. Inilah sebenarnya, bentuk penjajahan baru terhadap ekonomi Indonesia.
Munculnya PMDA
tahun 1967 yang dibuat Orde
Baru merupakan awal dimulainya liberalisasi dan
penjarahan di bidang SDA. Kala UU ini dibuat memang belum begitu liberal. Hal
ini dapat dilihat sejumlah bidang yang
tertutup bagi investor, khususnya bidang yang menguasai hidup rakyat
banyak, seperti pelabuhan, produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik
untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum,
pembangkit tenaga atom, dan mass media.
Menyusul kemudian dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM). UU ini
menggantikan undang-undang penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal
asing sebelumnya. Dari sinilah liberalisasi pengelolaan SDA dilakukan
semakin masif
dan radikal.
Dalam upaya menumbuhkan ekonomi
nasional, undang-undang penanaman modal dibuat. Pemerintah pun tidak hanya melindungi investasi asing dari
gugatan keadilan lewat pengadilan arbitrase internasional, namun juga memberikan
keringanan pajak.
Di sisi lain, liberalisasi pengelolaan
SDA di sejumlah daerah bukan menjadikan daerah menjadi sejahtera. Di Provinsi
Papua misalnya, daerah yang kaya akan tambang, dieksplorasi secara
besar-besaran oleh perusahaan tambang Freeport, justru daerah ini
menjadi sumber kemiskinan. Meski secara persentase kemiskinan menurun, tetapi
secara absolute jumlah penduduk miskin bertambah dari tahun sebelumnya. Dari
tahun ke tahun rata-rata tingkat kemiskinan di
atas 30%. Tahun 2011 tingkat kemiskinan di tanah penghasil emas tersebut
sebesar 31,98% atau sebesar 944.790 jiwa.
Akibat kebijakan pemerintah yang belum berkeadilan dalam pengelolaan
potensi daerah, masyarakat daerah hanya
sebagai penonton dan penerima dampak negatif saja. Kondisi tersebut memicu
berbagai reaksi yang merugikan pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat daerah untuk memperjuangkan haknya, mulai dari tindakan anarkis sampai pada ancaman disintegrasi bangsa.
Ekspoitasi SDA hanya mementingkan aspek keuntungan perusahaan asing, pribadi
dan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menerima getahnya saja.
Teori pertumbuhan ekonomi liberalis
berbasis kapital yang dipakai Mafia Berkeley di era Orde Baru hingga
sekarang lebih menekankan pertumbuhan pada kenyataannya
tidak menetes ke bawah (trikle down
effect ).
Sementara itu, Direktur Indonesia
Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan,
banyak perusahaan tambang besar legal
maupun ilegal justru lebih banyak menunggak pajak. Berdasarkan hasil audit
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan September hingga Oktober 2011
lalu, ditemukan 319 perusahaan daerah dan 10 perusahaan besar yang kurang membayar
pajak. Nilai kekurangan bayarnya mencapai Rp 94,468 miliar dan 43,332 juta
dolar AS.
Terjadinya monopoli konsensi pengelolaan
dan penguasaan areal potensi SDA di berbagai daerah oleh perusahaan asing dan
pengusaha besar semakin melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin. Dengan kapitalis
liberal ini pengusaha lokal dan masyarakat daerah akan semakin tergerus karena tidak diberi kesempatan untuk mengelola SDA di daerahnya sendiri.
Kesenjangan itu terjadi di bidang pertambangan. Pengusaha besar menguasai hampir 99% lahan potensial. Sementara keberadaan
perusahaan besar tersebut secara nyata lebih banyak mengeksploitsasi SDA untuk mengejar keuntungan, tidak memberikan
kontribusi secara nyata terhadap masyarakat dan pemerintah daerah.
Arah kebijakan pengelolaan SDA sebenarnya sudah mulai berubah, khususnya
sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Melalui UU No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah, daerah diberi kewenangan sepenuhnya untuk
mengelola SDA. UU Otonomi Derah ini juga memberikan otoritas kepada daerah
untuk menerbitkan Perda dalam kaitannya untuk meningkatkan PAD, yang konon
untuk mensejahterakan warga. Sayangnya, Perda yang diterbitkan pemerintah
daerah sering kebablasan sehingga justru menjadi beban bagi masyarakat.
Pemerintah pusat dan daerah belum siap
menjalankan UU Otoda ini. Ibarat sudah dilepas kepalanya namun masih di pegang
ekornya. Terbukti, izin-izin investasi
besar bidang strategis pemerintah pusat masih ikut cawe-cawe dalam memberi keputusan. Sejatinya, Otoda adalah
memberikan sepenuhnya kewenangan kepada daerah masih dilanggar. Pemerintah
daerah hanya sebatas melakukan koordinasi
saja, sedangkan keputusan masih ada di Pusat.
Kondisi itu dianggap tidak sesuai dengan
sistem desentralisasi yang diterapkan saat ini. UU Otonomi Daerah merupakan
perubahan sistem pengelolaan negara dari pusat yang tadinya
sentralistis menuju pemerintah desentralistis, di mana daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya
sendiri, termasuk memberikan berbagai izin investasi.
Dalam
undang-undang ini, khususnya menyangkut investasi, diamanatkan agar pemerintah pusat memberi kewenangan penuh kepada daerah
(desentralistis) dalam memutuskan kepengelolaan SDA. Desentralisasi di daerah
menghendaki kewenangan utuh dan tak terpecah belah.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten
Seluruh Indonesia (Apkasi) Isran Noor mengakui bahwa sekarang ini yang terjadi adalah tarik
menarik kepentingan antara pusat dan daerah dalam soal pemberian izin
investasi. Saling tumpang tindih aturan pengelolaan SDA pun bermunculan.
Dalam implementasi pengelolaan mineral
dan batubara (minerba). Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Minerba mereduksi kewenangan pemerintah daerah.
Contoh lainnya adalah pelaksanaan UU No
41/1999 tentang Kehutanan. Pelaksanaan UU Kehutanan dinilai membuka adanya
penafsiran penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan oleh pemerintah pusat
melalui Kementerian Kehutanan.
Dampak dari pelaksanaan itu ialah kepala
daerah tak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya. Bahkan, kepala daerah
berpotensi dipidana. Pengelolaan SDA oleh daerah sering kali berbenturan antar
sektor lainnya, sehingga tidak bisa berjalan optimal untuk
kemakmuran rakyat daerah sesuai amanat pasal 33 ayat 3 UUD 45.
Pengelolaan SDA di era Otoda harus bisa
menyesuaikan dengan ekosistem setempat, menghormati kearifan tradisional yang
sudah dikembangkan masyarakat di dalam pengelolaan SDA dan lingkungan
hidup secara lestari, tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan
batas ekologi (bioecoregion),
meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan
daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung, serta
pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang
paling berkepentingan (menentukan) pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
Optimalisasi pemanfatan SDA di daerah sebenarnya dapat dilakukan jika
mengacu pada TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Tap MPR itu menghendaki selain
adanya harmonisasi dalam pengelolaan SDA, juga memerintahkan agar melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor.
Reforma agraria perlu dilaksanakan karena masih ada masalah struktural
berkaitan dengan tanah. Pertama, dampak negara bekas jajahan masih
meninggalkan masalah yaitu ketimpangan penguasaan tanah. Ada badan hukum
menguasai tanah sangat luas, sementara banyak anggota masyarakat, terutama
petani, tidak memilikinya.
Kedua, terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat
pemanfaatan tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, yang bisa dilihat dari
fakta pada musim hujan kebanjiran dan musim kemarau kekeringan. Bahkan pada
musim kemarau banyak waduk dan saluran irigasi yang kering. Ketiga, konversi penggunaan sawah ke non-sawah dan kurangnya air irigasi
mengakibatkan gagalnya panen yang mengancam ketahanan pangan. Keempat, banyak anggota masyarakat tak memiliki rumah karena tidak ada tanah.
Kelima, adanya konflik, sengketa dan perkara antarindividu,
antara masyarakat dan badan hukum, masyarakat dan pemerintah, antara pemerintah
dan badan hukum yang mengakibatkan tanah status quo sehingga terjadi opportunity loss.
Liberalisasi pengelolaan SDA yang dilakukan perusahaan multinasional merupakan jensi
imperalisme modern. Ia masuk melalui UU yang lebih mengedepankan kepentingan
asing melalui perjanjian internasional
seperti World Trade Organization (WTO).
Pada Oktober lalu misalnya, SBY bersama rombongan melakukan
perjalanan ke London, Inggris, untuk melakukan negosiasi perpanjangan
proyek-proyek migas yang dilakukan British Petrolium (BP). Bangsa ini tampaknya
sudah terjebak pada faham liberalis kapitalis, mengejar pertumbuhan melalui
masuknya investasi perusahaan multinasional. Upaya untuk melakukan nasionalisasi pengelolaan sumber daya mineral oleh
perusahaan nasional tampaknya hanya sebagai slogan semata.
Hadirnya SBY bersama menteri dan
kepala daerah di sejumlah pertemuan bisnis internasional
guna melakukan promosi untuk menarik modal asing adalah bukti bahwa pemerintah
mengabaikan Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3), yakni ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dalam UU ini juga ditegaskan, seluruh
kekayaan nasional, supaya bisa mendatangkan kemakmuran
bagi rakyat, harus dikuasai negara. Makna dikuasai memang tak berarti negara
yang bertindak sebagai pengusaha. Melainkan negara bertindak pembuat peraturan
agar pengelolaan kekayaan alam itu terpastikan benar untuk rakyat.
Mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla maupun ekonom senior Kwik Kian Gie
mengakui, bahwa faham ekonomi liberal
berbasis pada kapitalisme yang dilakukan pemerintah sekarang tidak bisa
dilihat langsung oleh masyarakat. Namun ekonomi liberal dampaknya sangat nyata
dirasakan masyarakat kebanyakan, di mana yang kaya semakin
kaya, dan yang miskin tambah miskin. Terjadi ketimpangan antara kota dan
desa.Tidak ada demokrasi ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang selalu dikejar oleh kalangan liberalis terbukti telah gagal
di negara-negara kapitalis itu sendiri.
Bagaimanapun liberalisasi pengelolaan
SDA
telah mendorong terjadinya eksploitasi berlebihan. SDA dikeruk
secara membabibuta untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Sementara, hasil eksploitasi dinikmati hanya oleh segelintir orang. Negara hanya mendapatkan
royalti serta pajak,
masyarakat setempat atau daerah yang sebenarnya berhak mendapat hasil
pengelolaan SDA kadang malah terabaikan.
Kwik Kian Gie mengatakan, ekonomi
Indonesia saat ini sudah rusak lantaran SDA yang dimiliki bangsa ini kini
tengah dijarah oleh perusahaan multinasional. Dominasi perusahaan asing
menguasai sektor strategis seperti
migas dan tambang menjadikan bangsa ini terus didikte
kepentingan asing. Indonesia memiliki sumber minyak, namun dalam penentuan harga minyak mentah saja harus
ditentukan New York, padahal minyak mentah itu berada di
negara kita sendiri.
Liberalisasi telah diberlakukan
sedemikian jauhnya di negeri ini. Sehingga sejumlah beleid telah terang-terangan melanggar Konstitusi, kebijakan pemerintah banyak menyesatkan dan
membuat rakyat sangat sengsara.
Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)
Titanium Arts & Science
BalasHapusThe TITanium titanium curling iron Arts and Science team titanium key ring at T-Mobile Labs today titanium chords announced their new interactive interactive interactive solo titanium razor content game. titanium welder In a
gc311 replica bags wp573
BalasHapus